30 : Baikan

186 22 0
                                    

Ditengah-tengah perjalanan saat mereka sedang melihat berbagai macam ice cream yang tersaji secara cuma-cuma di depan mereka, Namarra memilih untuk memisahkan diri dari mereka. Itu salah satu upaya untuk membebaskan diri agar tidak ikut menanggung malu atas kelakuan Iqbaal dan teman-temannya yang lain.

Namarra melihat sekelilingnya, bingung ingin mencicipi ice cream yang mana. Selain banyak ice cream, yang membuat Namarra malas adalah banyak pengunjung yang ramai.

Namarra sejujurnya tidak suka keramaian. Ia lebih senang di rumah, menonton tv atau menulis sebuah cerita. Ia tidak suka ramai dan bertemu orang banyak yang tidak ia kenal.

Sikapnya ini memang berbanding terbalik dengan Geraldy. Cowok itu senang keramaian, senang bertemu orang banyak. Itu yang membuatnya mempunyai banyak teman. Tidak seperti Namarra yang temannya bisa di hitung dengan jari.

"Lo samperin aja," kata Iqbaal begitu ia melihat Geraldy yang memperhatikan Namarra sejak cewek itu memilih untuk memisahkan diri dari mereka.

Geraldy mengerjap kaget, lalu ia kembali bersikap biasa. "Nggak usah."

"Bego," umpat Bisma. "Emang bener-bener pengecut lo ya, Dy. Orang mah pas tau Namarra jalan sendiri gitu, lo ikutin, lo samperin."

"Iya," Gio mengangguk setuju. "Lo mau emang Namarra di godain cowok-cowok? Lo nggak sadar emang kalo dari awal banyak cowok yang ngelirik Namarra."

"Namarra dideketin sama gue aja lo udah kepanasan, masa iya lo mau liat Namarra dideketin cowok-cowok disini," kata Bisma.

Geraldy menghela nafas. Ia segera beranjak pergi. Kepergian Geraldy membuat teman-temannya langsung tersenyum puas. Geraldy memang harus di panas-panasi dulu baru mau bergerak.

Mata Geraldy menemukan Namarra yang berdiri ditengah-tengah kerumunan orang-orang. Cewek cantik dengan rambut di kepang satu itu memang terlalu mencolok diantara cewek-cewek lain yang ada disana.

Dan benar kata Gio tadi, cowok-cowok disekitar Namarra memang memperhatikan cewek itu. Bahkan terang-terangan menebar senyuman dan pesonanya pada Namarra agar dilirik oleh cewek itu. Tapi nyatanya, Namarra sama sekali cuek dengan sekitar.

Baru kali ini Geraldy merasa beruntung Namarra memiliki sikap yang cuek. Padahal dulu Geraldy sungguh sebal kalau Namarra cuek dan tidak memberikan perhatian padanya.

Geraldy hendak melangkah menghampiri Namarra, namun ia urungkan. Ia justru berjalan menuju stand jenis ice cream soft serve yang berada disebelah kanannya.

Geraldy memesan ice cream rasa matcha. Setelah itu ia melangkah menghampiri Namarra yang sedang melihat-lihat berbagai ice cream.

Saat Geraldy sudah berdiri tepat di belakang Namarra, cowok itu menepuk pelan bahu Namarra. Dengan refleks Namarra menoleh dan sudah siap melayangkan pukulan jika yang menepuk bahunya adalah cowok asing.

Matanya seketika membulat ketika melihat Geraldy yang justru berdiri di belakangnya tadi. Namarra lalu menatap dua ice cream yang di pegang Geraldy.

'Ngapain nih orang?' tanya Namarra dalam hati, menatap Geraldy.

'Gue udah nyamperin dia dan sekarang gue harus ngomong apaan?!' tanya Geraldy kebingungan sendiri.

Selama beberapa detik, Namarra dan Geraldy hanya saling tatap-tatapan. Tidak ada yang memulai pembicaraan karena keduanya juga sama-sama bingung.

Namarra yang bingung mengapa Geraldy tiba-tiba menghampirinya dengan dua ice cream di tangannya, sementara Geraldy bingung harus bicara apa ketika sudah melihat wajah Namarra.

'Nggak. Gue nggak boleh jadi pengecut.' kata Geraldy dalam hati.

Geraldy berdeham singkat. Memantapkan diri sejenak untuk memulai percakapan dengan Namarra.

Geraldy menyodorkan ice cream rasa matcha pada Namarra. "Buat lo."

Namarra menerimanya walau dengan raut wajah bingung yang jelas ketara sekali di wajahnya. "Makasih."

"Ice cream matcha. Kesukaan lo," kata Geraldy tersenyum tipis.

Namarra menipiskan bibir, cewek itu melirik Geraldy yang sekarang bukan berdiri dihadapannya melainkan disampingnya. "Lo masih inget ternyata."

Geraldy mengulum senyum. Merasa kikuk sendiri. Dulu ia juga merasa deg-degan ketika berdekatan dengan Namarra, tapi kali ini ia lebih deg-degan lagi.

"Namarra," panggil Geraldy. Membuat Namarra menoleh dan menatapnya polos.

"Kenapa?" tanya Namarra, berusaha menyembunyikan kegugupannya didepan Geraldy.

Setelah sekian lama, Geraldy memanggil namanya lagi. Selama ini, mereka berdua memang tidak saling menyebut nama. Namarra yang tidak mau menyebut nama Geraldy, begitupun Geraldy yang merasa canggung saat menyebut nama Namarra.

Tiba-tiba saja Geraldy mengulurkan tangannya. "Kita baikan ya?"

Namarra mengernyitkan dahi. "Hah?" tanyanya heran. "Emang kita musuhan?"

Emang kita musuhan?

Bukan musuhan. Tapi lebih tepatnya perang dingin. Saling diam dan tidak mau berinteraksi lagi.

"Eh?" Geraldy tersentak, menarik kembali tangannya, meringis malu. "Nggak musuhan ya?"

"Nggak. Siapa bilang musuhan," kata Namarra, cuek.

"Kalo nggak musuhan ... kenapa nggak pernah ngobrol?" tanya Geraldy, membuat Namarra terdiam. "Kalo emang nggak musuhan kenapa lo selalu ngehindarin gue? Lo keliatan benci dan kesel sama gue?"

Namarra tersenyum tenang. "Nggak tau."

"Padahal walaupun udah jadi mantan, kita masih bisa jadi temen," kata Geraldy.

"Itu yang lo bilang sama gue waktu kita..," Namarra melirik Geraldy yang ternyata juga sedang meliriknya. "... Putus."

"Iya," Geraldy tertawa pelan. "Tapi nyatanya malah jadi musuh gini."

"Gue cuma ngikutin lo aja. Lo juga selalu diem sama gue, jadi ya gue juga bersikap sama kayak lo," kata Namarra, memberitahu alasan mengapa dia bersikap begitu pada Geraldy.

Geraldy tersentak. "Kalo gue ajak lo ngobrol, lo bakal respon?"

Namarra mengedikkan bahu. "Mungkin."

Geraldy menarik nafas, kembali mengulurkan tangannya. "Kita baikan ya sekarang. Gue nggak mau berlagak jadi musuh sama lo lagi."

Namarra menatap Geraldy sesaat. Dengan wajah tenang, Namarra membalas jabatan tangan itu. "Gue juga nggak mau musuhan sama lo sebenernya."

Geraldy tersenyum. Terlihat sekali kalau ia senang. Walau sebetulnya yang ia harapkan bukan hanya sekedar menjadi teman semata.

"Besok nggak usah sok jadi musuh lagi. Oke?"

Namarra mengangguk dan tersenyum lucu. "Oke."

Namarra [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang