26. Mengalah (2)

40 9 0
                                    

"Ketika kamu menang melawan egomu, itu artinya kamu tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan."

--

Author POV

Genggaman itu masih kuat memegang ujung baju dari Alfi. Seolah tak ingin lelaki itu pergi selangkah pun darinya.

"Maaf, karena saya egois. Maaf juga karena saya selalu nyuruh kamu pergi padahal sebenarnya saya mau kamu tetap ada di sini," lirih Wanda, bahkan ia sudah menangis saat ini.

Alfi kembali duduk di tempatnya tadi, menarik tangan yang masih memegang bajunya, mengenggam tangan itu dengan kedua tangannya.

"Saya tahu kamu Wanda. Kamu gak mungkin nyuruh saya pergi, saya kenal kamu sudah lama," balas Alfi tersenyum ke arah Wanda. "Jangan nangis lagi," sapuan lembut jemari Alfi di pipi Wanda. Menghapus jejak air mata yang membasahi pipi wanita itu.

Akmal yang semenjak tadi berada di depan kamar sang Kakak turut bahagia mendengar ungkapan hati dari Wanda. Untung Wanda tidak sepengecut dirinya dulu, yang terlebih dulu membiarkan Nata pergi barulah ia menyesal.

"Sekarang minum obat ya? Abis itu tidur lagi biar demamnya cepet turun," Alfi mangulurkan obat pereda demam dan segelas air.

Wanda menerimanya dan meminum obat itu. "Sekarang tidur, ya?" Perlahan Alfi membantu Wanda untuk berbaring, menarik selimut wanita itu, lalu mengecup kening Wanda dengan sayang.

"Selamat istirahat, saya pulang dulu ya? Besok pagi-pagi saya ke sini lagi," Wanda mengangguk. "Makasi banyak, Fi,"

"Sama-sama, Nda."

Terlebih dulu Alfi menemani Wanda hingga tertidur, barulah ia pergi dari kamar Wanda.

"Thanks ya, Bang," ucap Akmal saat melihat Alfi keluar dari kamar Wanda. "Sorry tadi udah buat Wanda nangis," Alfi menepuk pundak Akmal.

"Gapapa, Bang."

Akmal mengantar Alfi hingga teras rumah.

"Saya pulang dulu, ya? Kabarin kalau ada apa-apa. Besok pagi saya ke sini lagi," ucap Alfi.

"Hati-hati, Bang."

--

"Gimana Kak udah baikan?" Tanya Akmal saat memasuki kamar Wanda keesokan harinya. Pagi ini Akmal membawakan bubur ayam yang ia beli tadi di depan kompleks dan wedang jahe.

Biasanya kalau seperti ini, sang Mamalah yang selalu membuatkan Wanda wedang jahe. Namun, berhubung saat ini hanya dirinya yang ada di sini, maka Akmal yang membuatkan minuman itu.

"Udah mendingan," balas Wanda kemudian perlahan mulai beranjak untuk duduk bersandar dengan bantalan yang mengganjal punggungnya.

"Nih, di makan dulu." Wanda menerima mangkok yang berisikan bubur ayam. Menyuapkan sedikit demi sedikit bubur itu.

"Bentar lagi Bang Alfi nyampe,"

"Hm," balas Wanda. "Elah Kak, sok-sokan gak suka. Padahal hatinya menjerit nungguin Bang Alfi daritadi," ejek Akmal. Kebiasaan lelaki itu.

"Kata siapa?" Elak Wanda tidak terima atas tuduhan dari Akmal. "Saya tahu kali, Kak. Nata juga mau ke sini ntar, jenguk katanya,"

"Ya, bawel amat dah."

"Untung Kakak ye, kalau bukan udah saya sentil tu jidat. Nyolot amat ngeliatnya,"

"Ngapa pakai bawa-bawa jidat Kakak?" Tanya Wanda dengan tangannya yang sudah menutupi jidatnya kini. "Kayak manggil pengin ditimpuk,"

[4] Love is Trust [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang