6. Aku Tahu

64 10 0
                                    

"Jika melihatku sakit mampu meredakan amarah itu, maka lakukanlah. Hingga aku hancur, asalkan aku masih bisa melihat senyum itu. Aku ikhlas."

--

Author POV

Kali ini Nata mengisi hari liburnya tidak dengan mengerjakan tumpukan soal. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Sejak pagi tadi Nata bersama Ara juga Viya berkutata bersama di dapur. Sedangkan, Juna duduk bersantai di ruang keluarga. "Hai bidadariku, kalian sedang masak apa sih? Diriku sangat kesepian di sini," rajuk Juna menatap istri juga anak-anaknya yang terlalu sibuk dengan masakan mereka.

"Sebentar lagi, Pa. Papa nonton saja," sanggah Viya menatap kesal pada Juna. "Sebentar lagi Mas, nanti kami ke sana," Ara berusaha menenangkan suaminya itu. Jika sudah di rumah, makan sikap manja Juna akan keluar. Sangat berbeda apabila sedang berada di kantor atau di luar rumah.

Pagi ini mereka tengah memasak cookies serta brownis untuk menjadi cemilan hari ini.

Nata tengah menuangkan adonan brownis yang dibantu oleh Viya, sedangkan Ara tengah memanggang cookies yang sudah ia cetak.

Membutuhkan kurang lebih 45 menit untuk membereskan semuanya, termasuk merapikan peralatan yang mereka gunakan.

Ara membawa potongan brownis serta toples yang berisikan cookies di dalamnya ke ruang keluarga. Ternyata Juna sudah terlelap di atas sofa. Nampak jelas gurat kelelahan di wajah suaminya itu.

Ara meletakkan barang bawaanya di atas meja, lalu mengusap lengan Juna, ingin membangunkan lelaki itu. "Mas, ayo cicipi jajannya dulu," dengan lembut Ara membangunkan Juna.

Perlahan Juna membuka matanya, menatap Ara yang sudah berada di sampingnya. Juna bangun, beranjak untuk duduk serta menarik lengan Ara agar istrinya itu duduk di sisinya.

Nata juga Viya datang membawa gelas yang berisikan jus alpukat yang sudah mereka buat. Mereka duduk di sisi Ara dan Juna. "Ayo, Pa. Di makan jajan buatan kami hari ini," ucap Nata. Juna mengangguk lalu pertama ia mencicipi cookies yang sudah diletakkan rapi di dalam toples oleh Ara. Setelahnya ia mencicipi brownis yang sudah dipotong rapi.

"Kalian luar biasa, ini enak banget. Kalau gini sih, lama-lama Papa bisa gendut kalau disajiin makanan enak terus," gurau Juna yang disambut oleh Ara. "Tetep ganteng kok," rayu Ara mengelus lengan Juna.

"Aduh, Mama. Bisa aja ngerayunya," ejek Viya menatap wajah Ara yang sudah memerah. Juna merangkul bahu Ara, "sudah jangan goda Mama kalian seperti itu," bela Juna, lalu selepasnya ia mencium pipi Ara yang membuat wajah Ara semakin memerah tentunya.

--

Sore ini, Nata hanya diam di rumah. Duduk di teras rumahnya, seraya meminum teh hangat serta cookies yang telah ia buat bersama Mama juga Adiknya tadi pagi.

Ponselnya tidak pernah ia pegang semenjak tadi pagi, toh juga Akmal tidak akan menghubunginya. Jika Nata yang menghubungi duluan pun tidak akan dibalas oleh Akmal. Tentu, rasanya akan percuma.

Hanya status tanpa tahu perasaan yang sesungguhnya. Nata rasa ia belum mencapai titik lelahnya. Jika penat, mungkin sering Nata merasakannya. Namun, ia masih bisa meredakan semuanya.

Nata meminum teh hangat yang berada di tangannya. Menikmati teh yang ia minum. Menenangkan pikirannya, kembali mencoba untuk berpikir positif terhadap semua yang terjadi pada dirinya.

"Melamun terus," sapa Ara yang sudah duduk di kursi kosong di sebelah Nata. "Eh, Mama. Ngagetin aja," Nata meletakkan gelas yang tadi ia pegang.

"Ngelamunin apa sih?" Tanya Ara. Namun, dirinya tidak menatap Nata. Masih menatap tanaman bunga yang berada tepat di depan pandangannya.

"Gak mikirin apa-apa, Ma," Ara tersenyum. Lalu, kini ia mengalihkan pandangannya untuk menatap Nata.

"Kamu anak Mama, Nat. Mama sudah ngandung kamu, ngerawat kamu dari bayi sampai sekarang, Mama bisa ngerasain apa yang kamu rasain. Bahkan lebih dari itu," Nata menatap Ara yang kini tengah menatapnya.

"Akmal?" Tanya Ara. Pandangan Nata berubah, nampak ada kepedihan di sorot mata Nata. Ara menyadari itu.

Nata mengangguk, "Mama diam bukan berarti Mama gak tahu. Bahkan waktu Akmal datang ke sini, terus kamu pulang dengan keadaan basah kuyup, Mama sudah ngerasa ada yang gak beres sama kalian. Tapi, Mama gak maksa buat kamu cerita semuanya."

Nata meremas tangannya, menunduk tidak berani menatap mata teduh Ara. Sebab, itu sangat berbahaya. Karena, tentu Ara akan mengetahui semuanya.

"Nata lihat Mama," tegas. Ara memegang tangan Nata, terpaksa Nata menatap mata Ara. Tentu dengan sorot mata yang sudah berkaca-kaca. "Kamu punya Mama untuk menjadi tempat cerita, jangan pendam semuanya sendiri."

Saat itu pecahlah tangis Nata. Ara bangkit lalu memilih untuk memeluk Nata erat. Nata melingkarkan tangannya diperut Ara, menumpahkan semua tangis yang berusaha ia pendam selama ini.

"Nangis sepuasnya, namun setelah itu kamu harus lebih kuat. Anak Mama harus kuat," Nata mengangguk.

Ara mengelus rambut Nata, setetes air mata juga jatuh dari matanya. Melihat rapuhnya Nata saat ini, sangat menggoreskan luka di hati Ara. Bahkan dirinya dan Juna tidak pernah membuat Nata nangis. Lalu, sekarang ada lelaki yang sangat berani untuk membuat Nata menangis. Ara berharap lelaki itu segera menyadari kesalahannya.

Sebelum dirinyalah yang membuat lelaki itu sadar.

--

Selepas menceritakan semuanya pada Ara, perasaan Nata saat ini sangat lega. Setelah begitu lama ia menyimpan beban itu sendiri, akhirnya beban berkurang.

Nata berbaring, menatap ponsel yang sudah ada digenggamannya saat ini. Begitu banyak notifikasi yang masuk, dari semua sosial medianya.

Nata lebih memilih untuk membuka instagram, karena tentu tidak ada notifikasi whatsapp dari Akmal yang masuk.

Melihaf story dari teman-teman dunia mayanya. Namun, tidak ada juga story dari Akmal.

Nata kembali me-refresh beranda instagramnya. Melihat postingan terbaru yang masuk. Lebih banyak postingan dari akun sajak yang muncul. Hingga terselip salah satu postingan.

Dan, itu berasal dari akun Akmal. Foto dirinya yang tengah berdiri menatap lensa kamera. Nata masih betah untuk menatap foto Akmal. Sungguh dirinya sangat merindukan lelaki itu, sangat.

Setelah dirasa cukup, ia beralih ke kolom komentar. Dan senyum itu perlahan memudar, satu komentar yang cukup menjelaskan maksud dari postingan itu.

Nata mengenggam ponselnya dengan kuat, berharap yang ia baca bukanlah kebenaran. Namun, sayang, semuanya adalah kebenaran.

Nata memejamkan matanya, berharap kali ini air mata itu tidak jatuh lagi. Untuk kali ini saja.

Nata keluar dari akun sosial medianya. Lalu, mencoba menghubungi lelaki yang saat ini berada di pikirannya. Namun, nampaknya lelaki itu enggan untuk mengangkat panggilan dari Nata.

Kemudian, Nata mengetikkan satu pesan.

Jika rasa ini harus berakhir sakit seperti ini, saya ikhlas. Jika sakit saya bisa membuat kamu bahagia, saya ikhlas. Kita selesaikan ini baik-baik ya? Saya perlu membicarakan semuanya :)

Nata mengirimkan pesan itu pada Akmal, jika memang saat ini Akmal sedang tidak memegang ponselnya. Maka dirinya berharap, Akmal akan membaca pesannya itu.

Nata menon-aktifkan ponselnya. Berbaring miring, memeluk boneka pemberian dari Akmal. Boneka beruang yang menjadi pengganti Akmal saat ini.

"Saya kangen kamu yang dulu, Mal. Kamu ke mana?" Lirih Nata. Air mata itu kembali jatuh, Nata tidak bisa menahannya. Entah ini untuk yang ke-berapa kalinya ia menangis. Menangis atas kebahagiaan yang Akmal janjikan dulu.

--

To be continue...

Sweet,
Dyariss

Jangan lupa like and comment💗

Terimakasih sudah membaca
Follow : @dyarisstory // @ginaedyaa

[4] Love is Trust [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang