22. Unconditionally

365 33 5
                                    

Arga menatap wajah Ratu yang terlelap di ranjang rumah sakit. Cowok itu tersenyum tipis memperhatikan wajah polos Ratu. Jika seperti ini, Ratu tidak terlihat menyebalkan sama sekali seperti Ratu yang dia kenal. Namun, Arga tak pernah menganggap Ratu sebagai cewek yang jahat. Ratu hanya berbeda, tidak sama seperti cewek lain yang dia temui. Karena itulah yang membuat Arganta melihat Ratu dengan cara yang berbeda pula, meski disisi lain, Ratu juga sangat menyebalkan untuknya.

Arganta melirik pergelangan tangan Ratu yang diinfus, terdengar desahan napas berat dari bibir cowok itu. Dia ingin sekali memukul kepala cewek yang saat ini masih terlelap dengan tenang di ranjang, tak mengetahui perasaan cemas dan khawatirnya dia. Dokter sudah memberikan obat untuk meredakan alergi cewek itu dan Ratu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantung infusnya, dan Arganta hanya harus tetap duduk di sisi Ratu sampai cewek itu membuka matanya.

"Ga ..." Ratu yang mulai sadar, mengerjapkan matanya pelan.

Arganta menegakkan tubuhnya.
"Nggak usah berisik. Tidur." Arganta menyembunyikan kekhawatirannya dibalik kalimat dinginnya. Dia merasa lega ketika mendapati Ratu baik-baik saja.

Ratu tersenyum. "Bilang aja kalo lo lagi khawatir dan merasa bersalah."

Arganta tak segera bereaksi. Ia terdiam menatap Ratu beberapa detik lalu berdecak pelan. "Pe-de banget lo." Arganta menekan jari telunjuknya ke dahi Ratu. "Gue mau pulang. Lo ngerepotin banget."

"Gaaa ..." Ratu mulai mengeluarkan nada merengek andalannya. "Kepala gue sakit." Ratu memegangi kepalanya sembari meringis pelan. Satu tangannya ia gunakan untuk menggenggam lengan Arganta. Memberikan isyarat bahwa cowok itu tidak boleh pergi kemanapun.

Melihat wajah pucat dan ringisan kesakitan Ratu, Arga yang hendak beranjak, kembali ke tempat duduknya. "Bagian mana?" Arga mulai bertanya dengan tatapan khawatir. Wajah cowok itu menyiratkan kecemasan yang kentara. "Gue panggilin dokter dulu."

Arganta hendak beranjak lagi namun, lengannya segera di tahan oleh Ratu. "Yang gue butuhin bukan dokter. Gue nggak mau dokter."

Arganta mengeryit tak mengerti. "Gue mau lo disini temenin gue." Ratu menunjukkan tatapan memohonnya. "Lo yang udah bikin gue kayak gini. Jadi, lo harus tang-gung-ja-wab!"

Arganta sungguh menyesal. Dalam kondisi dan situasi apapun. Ratu tetaplah Ratu yang sangat menyebalkan bagi Arganta. Dia lebih menyukai Ratu yang tidur, dibandingkan cewek itu sadar seperti saat ini. Selalu membuat kesabarannya diuji.

"Kenapa lo tetep makan nasi gorengnya kalo tau alergi?"

Ratu tersenyum tanpa rasa bersalah. Tak ada penyesalan sedikit pun di wajah cewek itu. "Karena lo yang nyuruh gue makan," sahutnya dengan nada polos.

Arganta memutar kedua bola matanya, jengah mendengar jawaban santai dari cewek di depannya. "Lo udah gila, ya?" tanya Arganta penuh ketidakpercayaan. "Ini kedua kalinya lo mempermainkan nyawa lo demi hal konyol!" Tersirat kemarahan dalam sorot mata Arganta. Dia hanya tak mengerti dengan jalan pikiran cewek didepannya.

"Lo sendiri yang bilang kalo gue udah gila. Kenapa sekarang jadi nanya gue gila atau nggak?" Ratu mendengus. "Dasar cowok plin-plan." Ratu tak mempedulikan tatapan dan wajah marah Arganta.

Arga meraih tangan Ratu yang bebas dari infus, mencengkramnya dengan erat. "Lo sadar nggak apa yang lo lakuin bisa ngebahayain nyawa lo sendiri?" Tatapan Arga kini menajam. "Elo nggak tau gimana khawatirnya gue? Oke, lo emang nggak pernah memikirkan perasaan orang lain."

Ratu terpaku sejenak. "Gue masih hidup dan baik-baik aja, jangan berlebihan, deh."

Arga menarik napas, mencoba berusaha tetap mengendalikan dirinya. "Oke, terserah lo! Lakuin apapun semau lo! Gue nggak peduli!" Arganta melepas genggamannya pada tangan Ratu lalu berbalik pergi dengan marah.

My Perfect QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang