Breakfast Buddy
*
Prolog
Chaeyoung mendesis. Rupanya memang tidak seperti ular, bahkan cenderung seperti anak kucing manis yang biasa kau temukan mengeong di depan minimarket atau pinggirang loteng. Tapi, sekarang, Chaeyoung tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mendesis layaknya ular yang gusar akan mangsanya. Semua itu terjadi dengan cepat karena sosok di hadapan Chaeyoung. "Sudah kubilang sejak awal. Untuk apa mengambil jurusan Sastra? Aku sudah memperingatimu bahwa itu hanya menyulitkan saja. Lihat buktinya. Apa? Hah?"
"Sebenarnya, ibu sempat bilang agar aku bekerja di kota saja, mungkin menjadi sekretaris ataupun admin jika aku gagal tes interview editor, tapi apa? Aku tidak suka! Itu memuakkan dan bukan diriku," gerutunya.
"Apa kau bilang?! Lalu apa rencanamu? Hah?"
"Aku ingin bekerja di kafemu saja! Aku jawab begitu."
"Ya! Apakah kau gila? Hilang akal? Kau ini sarjana."
"Aku tahu! Aku tahu, tidak perlu dikatakan keras-keras terus! Ibuku itu aneh. Aku harus sukses tapi aku tidak boleh terlambat menikah. Karena aku anak pertama, aku harus menyekolahkan adikku dahulu tapi dia juga memprotes, kalau aku tidak boleh terlalu fokus dengan karier nanti malah sulit menemukan pasangan. Apa maksudnya?" geramnya furstrasi. Serius, menuruti kemauan ibunya bagaikan menyerahkan diri kepada semesta bahwa besok akan ada tsunami, besok akan ada tornado, kemudian banjir bandang. Tidak pernah ada titik dan jeda dari permintaan tersebut, yang malah bukan menjadi pendorong agar Dahyun bangkit, justru pemberat di kedua kakinya.
"Dia punya maksud yang bagus."
"Aku tahu! Aku tahu! Tapi tetap saja, apakah itu masuk akal? Aku ini bukan jin botol atau apapun yang bisa sukses instan, dan harus menikah sesuai yang ia mau. Aku juga tidak tertarik untuk bekerja sesuai yang dia mau. Aku sudah cukup besar."
"Tunggu.."
Dahyun hendak memprotes sesaat Chaeyoung jusru bangkit seraya mengangkat telepon. Sembari menunggu Chaeyoung selesai bicara, Dahyun mengigiti ujung sedotannya. Padahal selama empat tahun ini Dahyun tidak pernah memprotes akan hal-hal perkuliahan dan dia cukup sadar diri untuk jadi anak penurut. Mengapa saat dia belum mendapat pekerjaan ibunya berubah berang layaknya landak yang punya duri sensitif?
"Ah, kau sudah punya masalah. Sekarang aku juga punya masalah lain," keluh sahabat Dahyun dengan langkah lesu.
"Apa maksudmu?"
"Ingat kan klien kakakku yang mengesalkan?"
"Yang ingin agar pestanya penuh dengan kue bertingkat tapi bebas lemak? Inginkan balon dengan warna warni pastel tapi jangan mencolok dan inginkan agar pestanya ramai meski harus menyewa beberapa orang tambahan dari krumu? Ada apa?" tanya Dahyun antusias. Hidup ini adil, huh?
"Dia ingin cari gara gara denganku. Dia ingin buat acara lagi.."
"Aku siap!"
Chaeyoung memutar bola matanya. "Masalahnya adalah ini soal aktor sialan itu."
"Uh?"
"Dia sekarang bekerja dengan aktor yang mungkin tidak asing untukmu tapi cukup menjengkelkan untukku. Aku pernah diminta buatkan pesta kejutan tapi dia malah tidak puas dan ingin menuntutku."
"Siapa maksudmu?"
"Park Jimin. Hish, menyebut namanya sudah membuatku ingin meninju dinding ... aigoo, mengapa dunia ini sangat kejam?" Chaeyoung menandaskan kopinya kemudian meninggalkan Dahyun yang masih terdiam. Apakah aku pernah mendengar nama itu? Di mana ya?Apakah aku pernah tahu? "Kalau kau mau bergabung, pastikan kau punya pekerjaan utama. Ini bukan hal yang bisa kau jadikan ladang penghasilan, dan bekerja denganku .."
"Ah, si aktor playboy itu?!" Dahyun bagaikan dihantam balok besar. "Aigoo.."
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Breakfast Buddy | park jm ✔
FanfictionKim Dahyun pikir, kehidupan selepas kuliah adalah yang terbaik. Sampai akhirnya, realita menghempas keras; diprotes ibunya, diceramahi sahabatnya, digunjing seluruh keluarga karena tidak mendapatkan pekerjaan. Rentetan kesialan terus berlanjut hingg...