7

7K 380 2
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Eh, kemana perginya kak Nafis? " Nayla baru sadar bahwa Nafis sudah tidak berada di dalam kamar.

Faris pun merasa demikian. Dilihatnya sekeliling kamar. "Mungkin dia sudah keluar. Mangkok bubur tadi pun juga sudah tidak ada." Ucap Faris. Lalu dia memberikan kantong obat kepada Nayla. "Ini untukmu. Tadi nenek menyuruhku membeli obat ke apotik, katanya kamu harus meminum obat ini."

"Oh. Iya. Terimakasih, bang"

"Sama-sama. Emang ini obat untuk apa? Kamu sakit?" Tanya Faris khawatir.

"Aku tidak sakit. Ini bukan obat, tapi vitamin penambah darah. Lihatlah aku!, Putih pucat. Bahkan kantung mata bagian dalam saja seperti tidak ada darah." Nayla memerlihatkan kantung matanya.

"Berbeda dengan kebanyakan orang. Kantung mata mereka terlihat merah. Coba aku lihat kantung mata abang, pasti merah. Kalau pucat juga abang harus minum vitamin ini." Tanpa aba-aba Nayla mendekat kearah Faris-Lalu dia membuka kantung mata Faris, untuk dia periksa hingga Jarak antara mereka sangat dekat, saking dekatnya hembusan nafas mereka saling terasa, detak jantung pun bisa terdengar. Hal ini membuat Faris gugup, berbeda dengan Nayla yang santai.

"Kantung mata abang merah. Jadi, hanya aku saja yang minum." Ujar Nayla. Dia kembali ketempat duduknya.

"Benarkah. Syukurlah." Faris menghembuskan nafas lega.

Keduanya kembali diam, Tak ada yang berinisiatif mulai berbicara. Walaupun keduanya sejak kecil sudah saling kenal. Tapi, Tak dapat dipungkiri, masih ada jarak yang terpisah dari mereka berdua, baik terpisah jarak tempat tinggal maupun kedekatan mereka. Namun, hal itu tak membatasi perasaan yang tumbuh subur dalam hati Faris, seperti merekahnya mawar merah sebab panasnya mentari pagi.

"Nay" Panggil Faris

"Ya" Alis Nayla terangkat. Seolah berkata 'ada apa? '

Kepala Faris masih betah menatap lantai kamar. "Kamu masih marah?"

"Sudah tidak lagi" Wajah Nayla berubah datar. Air wajahnya kembali sendu. "Sebenarnya aku tidak marah kepada abang. Aku hanya kesal kepada diriku yang tak pernah sadar bahwa aku Pernah mengatakan iya saat abang melamar. Aku merasa gadis yang bodoh. Tidak pandai membaca keadaan. Tidak peka terhadap sekitarku. Percayalah, aku tidak marah pada abang."

"Terima kasih. Kalau begitu. Sekali lagi aku minta.. "

Nayla mengangkat tangannya, "jangan katakan maaf. Abang tidak salah. Ini sudah takdir, aku ikhlas dengan semuanya. Mulai saat ini, ajarkan dan bimbing aku sebagai istri yang baik dan taat kepada suami agar dapat mencapai surganya Allah" Nayla mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis.

"Itu pasti". Faris pun membalas senyuman Nayla.

" Hmm.. Nayla"

"Iya"

"Ini" Faris memberikan sebuah kotak beludru biru ke tangan Nayla, dan mengisyaratkan kearah jarinya. "Tolong"

Nayla yang paham akan perkataan Faris, lalu menerima kotak beludru biru dan membukanya. Tampak lah sebuah cincin perak polos namun masih terkesan gagah. Kemudian, memasangkan ke jari Faris. Walau terlambat untuk memasang cincin tersebut, rasa haru dan khidmat tak lepas dari keduanya.

Sehabis pemasangan cincin, Senyum canggung menghiasi keduanya, Tampak rona merah dipipi Nayla. Dalam hati dia malu karena beberapa jam sebelumnya saat Faris memasang cincin di jemarinya dia menangis marah dan sesal.

"Nay,, hm. Boleh aku memegang ubun-ubunmu?"

"Eh, untuk apa?" Dia terkejut akan pertanyaan Faris.

Wedding Shock ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang