[بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم]
"Bukan siapa cepat, tapi dia yang tepat."
___________
Hari Minggu atau weekend jadwalnya adalah bersih-bersih area pondok, atau dalam istilah para santri sering disebut ro'an kubro. Kebetulan ro'an kali Zalfa kebagian roan ndalem Kyai, salah satu kebahagiaan para santri. Barokahnya paling besar kata mereka. Jarang kan lihat Abah Kyai sedekat itu, walaupun hanya sekedar lewat, itu saja membuat bungah atau bahagianya bagi santri.
Zalfa dan lainnya menuju ndalem Kyai Abdullah. Saat sampai disana mereka terlebih dahulu izin masuk ke dalam.
"Fitri kamu dapet dapur ya sama Sasa." Ucap Mbak Syifa membagi tugas masing-masing. "Ima sama Ika dapet ruang atas."
"Dan saya sama Zalfa ruang tamu dan sekitarnya." Semua mengangguk mengiyakan instruksi dari Mbak Syifa. Zalfa dan lainnya mulai mengerjakan tugasnya. Sementara Mbak Syifa yang menyapu, sedangkan Zalfa mengepel lantai. Ia mengambil air di kamar mandi dapur sekalian mengambil alat pel.
Mbak Syifa sudah selesai menyapu di ruang tamu, giliran dirinya yang mulai mengerjakan tugas. Dari arah depan tiba - tiba datang seorang anak kecil, mungkin keluarga ndalem juga ataukah cucu Pak Kyai.
"Aduh! Kalau jatuh kan gimana itu?" Lirih sembari fokus mengepel, tetapi tetap saja khawatir dengan anak kecil itu. "Adik eh Gus jangan lari-lari nanti jatuh loh!"
"Gapapa Mbak." Ucap bocah tersebut. Sembari bermain-main dengan mainan yang ia bawa.
"Aduh, Gus jangan! Kotor itu airnya!" Adik tersebut malah bermain air di ember utuk bilasan. Ia malah semakin brutal dengan menyemprotkan air ke wajah Zalfa. Sedangkan korban hanya santai menghadapi itu, lagi pula ini biasa yang seperti dilakukan keponakannya, yang selalu mengganggunya.
"Aduh aww. Umi!" Teriak bocah itu. Sudah dibilangin, itukan terjadi juga.
"Ya Allah kan Mbak udah bilang Jangan lari - lari!" Zalfa segera menghampiri bocah itu dan menggendongnya. Tangisnya pecah seketika di gendongan Zalfa. Ia menepuk - beluk punggung bocah itu.
"Anak ganteng enggak boleh nangis. Boleh nangis tapi harus kuat, oke?" Ucap Zalfa menenangkan bocah tersebut.
"Kalau nangis kenapa Mbak hiks...hiks."
"Nanti gantengnya berkurang." Zalfa terkekeh pelan, ada-ada saja jawaban spontanitasnya.
"Iya deh, Idan enggak nangis lagi, nanti Idan enggak dideketin sama Mbak uti - uti. " Bocah itu mengelap air matanya sendiri. Namun apa yang dia maksud Mbak uti-uti. Zalfa mengernyitkan dahinya.
"Hah? Uti? Apa itu sejenis makanan kah?" Tanya Zalfa bingung. Anak yang menyebutkan dirinya Idan itu menggeleng, bikin edan saja ini anak. Zalfa kembali bertanya. "Terus? Oh Mbak tahu. Maksudnya ote - ote kan, kaya gorengan bakwan itu iya?"
Bocah itu kembali menggeleng, keburu kerjaan Zalfa bertambah banyak kalau begini. "Orang kaya Mbak itu kan Uti."
Orang kaya Mbak? Zalfa berpikir sejenak. Uti? Ukhti maksudnya? Zalfa terkekeh pelan. Ada-ada saja ini bocah. Pinter banget sudah tahu bahasa arabnya saudara perempuan. Keren! Tapi konteks kalimat tadikan beda. Dideketin Ukhty? Aih ini anak
KAMU SEDANG MEMBACA
Presma Pesantren
Художественная прозаGus dan Santri. Kisah klasik sering kali ditemukan. Tak lain dengan Zalfa gadis 19 tahun yang punya kegaguman dengan Zafran. Tidak lain ialah anak pemilik pondok pesantren yang ia tempat, dan lagi? Dia seorang Presiden Mahasiswa di kampusnya. Dia la...