بسم الله الرحمن الرحيم
"Hidup bagaikan sebatang pohon, kalau waktunya tumbang yah mau bagaimana. Tumbanglah sebentar, tumbuhkan semangat tunas yang baru."
______
Zafran menepi di kelas 1 Aliyah. Ia masuk ke dalam kelas yang sebelum ia masuk terdengar ramai, saat dia masuk ke dalam mendadak seperti kuburan. Zafran mengangguk sekilas. Ia meletakan tas yang ia bawa di atas meja.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."
Terdengar sahutan salam dari para santri. Mereka sepertinya senang dalam hati, mendapat ustadz yang dibilang masuk dalam jajaran good looking iya. Dengan tahi lalat kecil di bagian dagu kanan bawah. Kalau senyum pasti menenangkan.
"Sebelumnya, nama saya Zafran Hilmi Al-Khalifi. Asli Semarang. Kali ini saya didawuhi (diperintah) Abah untuk ngajar Bulughul maram dikelas kalian. Ada lagi yang ditanyakan?" Ucap Zafran.
Belum ada yang ditanyakan. Semua masih diam. "Kalau ndak ada, silahkan perkenalan masing - masing, sebutin nama sama asal! Dimulai dari depan pojok kanan."
Mereka mulai melaksanakan perintah Zafran. Memperkenalkan diri masing - masing. Cukup mengabiskan waktu sekitar 20 menitan.
"Jauh - jauh juga ya aslinya." Komentar Zafran, jauh ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan lainya.
"Assalamualaikum."
Semua pandangan tertuju pada seseorang yang berdiri diambang pintu. Zafran menghela nafas berat. Iya mau bagaimana lagi, dihadapan dengan gadis itu lagi, sabar. Zalfa melangkah masuk ke dalam.
"Maaf us_ustadz?" Ucap Zalfa gerogi, ternyata orang yang tadi hendak ia usir adalah ustadz, tapi kenapa semuda ini ustadznya? Dia kira ustadz - ustadznya sudah berusia sepuh.
Zafran mengangguk sekilas, Zalfa kemudian melangkah hendak duduk di bangku yang kosong.
"Siapa suruh duduk?" Zalfa kembali menoleh mendengar instrupsi itu. Ada apa lagi ini?
"Iya Ustadz."
"Perkenalan dulu!" Zalfa mengangguk. Itu mah mudah.
"Perkenalan, saya Zalfa Alishba Mu'adzah. Dipanggil nengok!" Semua penghuni kelas tertawa mendengar itu. Suara tawa terdengar riuh, tidak dengan Zafran yang mengernyitkan dahinya.
"Jauh banget, Zalfa Alishba Mu'adzah dipanggilnya Nengok?" Tanya Zafran, dengan wajah bertanya - tanya. Wahai Ustadz tidak pahamkah dengan jokes ini?
"Iya Ustadz kalau dipanggil iya saya nengok." Tawa kembali menguar dari santriwati. Zafran menghela napas panjang. Sampai deheman keras Zafran menghentikan tawa mereka.
"Ke pojok, Mbak. Berdiri sampai kelas selesai!"
What? Hah?
"Ustadz?"
"Kalau mau ikut kelas saya terus, mau bagaimana lagi? Silakan!" Dengan langkah gontai Zalfa menuju pojok kelas. Mau harus mau dia berdiri di situ. Tidak ada lagi yang mengobrol keras kali ini, wajah-wajah mereka kembali tegang.
"Jadi dikelas saya semua harus ikut peraturan, jam segini masuk kelas ya masuk kelas. Enggak usah mlipir, molor waktu, enggak usah nunggu diingetin pengurus. Fahimtunna?"
"Fahimna Ustadz." Ucap seluruh santri.
"Ada lagi yang mau ditanyakan?"
"Gus taksih kuliah, Umur berapa Gus?" Tanya seseorang di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Presma Pesantren
General FictionGus dan Santri. Kisah klasik sering kali ditemukan. Tak lain dengan Zalfa gadis 19 tahun yang punya kegaguman dengan Zafran. Tidak lain ialah anak pemilik pondok pesantren yang ia tempat, dan lagi? Dia seorang Presiden Mahasiswa di kampusnya. Dia la...