3. Dia, Cewek Itu

684 47 0
                                    

"Woi! Ara!" teriak Era sambil berlari dan mensejajarkan langkahnya dengan Ara.

Ara menoleh singkat sambil berdeham dan tersenyum. "Iya Er?"

"Kok Er sih?! Ra, gitu loh," protes Era tidak terima.

"Kan nama aku juga belakangnya Ara," balas Ara sambil terkekeh. Mereka sudah sampai di depan pintu kelas. Era menahan tangan Ara saat akan memasuki kelas.

"Apa sih Er?" goda Ara sambil menaik-turunkan alisnya menggoda Era. "Gak ada yang salah sih manggil nama kamu Er," ujarnya. Lalu melangkah memasuki kelas dan tersenyum pada semua teman sekelasnya.

"Selamat pagi, Ara!"

"Ara makin cantik!"

"Ara gimana kabarnya hari ini?"

"Ara udah ngerjain PR belum? Kalo udah nyontek dong."

"Ara. Nanti jalan yuk?"

"Makan bareng di kantin yuk nanti?"

"Ara, pacaran sama aku yuk?"

Ara hanya terkekeh menanggapi candaan teman-temannya. Sudah biasa dia mendapatkan hal itu dari mereka. Ara pun tidak ambil hati ucapan mereka.

Era berkacak pinggang sambil naik ke atas kursi guru. Membuat semua temannya menatapnya bingung.

"Hei kalian semua! Kalian itu harusnya nyambut gue! Bukan cuma Ara doang dong!" teriak Era.

"HUUWOOOO!!!!"

Mereka semua berteriak menyirami Era yang berkata seperti itu. Mereka tidak sadar jika bel sudah berbunyi tiga menit yang lalu. Ara pun hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Dia memilih untuk menggambar saja.

"Era!!"

Bu Sela, wali kelas XI IPA 1 berkacak pinggang menatap tajam Era yang berdiri di atas kursi. Berani sekali?!

"Eh, ada Ibu guru yang cantik jelita se-jagad raya. Maafkan ya, Era khilaf." Era turun dari kursi dan menuju ke bangkunya. Duduk di samping Ara yang masih asyik menggambar.

"Kamu itu bisa yang sopan dikit nggak Era?" tanya Bu Sela menyindir.

"Saya kurang sopan dimananya Bu?" tanya Era sambil berpura-pura berpikir. "Saya tadi itu memberikan semangat untuk mereka agar kita sama sama berteriak gini 'semangat pagi!'. Gitu loh Bu," ujar Era berbohong.

Semua teman sekelasnya sontak menyorakinya kembali. Era memang selalu seperti itu. Tapi entah kenapa dia yang 'otaknya miring' bisa berteman baik dengan Ara yang '100% waras'.

Bu Sela hanya geleng-geleng kepala melihatnya sambil menghela napas, sabar. "Hari ini, Bu Rani telat masuk. Mungkin satu jam lagi, karena beliau ada urusan. Dan kelas kalian kedatangan murid baru hari ini," jelas Bu Sela. Membuat mereka membulatkan mulut mereka tanpa suara.

"Masuk!" perintah Bu Sela. Seketika mereka memandang ke arah pintu kelas.

Disana, seorang cowok yang sangat tampan. Rambutnya sedikit acak-acakan. Matanya tajam berwarna biru. Dia tersenyum lebar saat sudah berdiri di samping Bu Sela.

"Perkenalkan diri kamu."

"Perkenalkan nama saya Sagara Biru. Saya harap kita bisa berkenal dengan baik." Sagara menatap mereka semua yang kini juga menatapnya sambil tersenyum.

Tidak! Ada satu orang yang cewek yang tidak menatapnya. Dia terlihat sedang menggambar. Tapi sepertinya wajahnya tidak asing.

"Ya udah Sagara. Kamu duduk di meja paling belakang, di dekat Dito."

"Iya Bu."

"Kalau begitu Ibu tinggal dulu. Tunggu Bu Rina sampai datang." Bu Sela memperingatkan.

"Iya Bu!"

Sagara segera menuju ke tempat duduknya. Dia sekilas melirik cewek tadi. Dan Sagara mengingatnya. Dia adalah gadis berhati malaikat yang telah menolong ibunya kemarin. Sagara bertemu dengannya! Namanya Ara.

Sagara lalu segera duduk di samping Dito. "Salam kenal, gue Dito." Dito mengulurkan tangannya pada Sagara.

"Gue Sagara." Sagara membalas jabatan tangan Dito.

"Gue mau tanya," ujar Sagara pelan. Matanya menatap punggung Ara.

"Tanya apa?"

"Nama cewek yang ada di depan sana siapa?" tunjuk Sagara menunjuk Ara.

"Yang kanan atau kiri?" tanya Dito.

"Kanan. Pinggir tembok itu loh." Sagara mengarahkan dagunya pada Ara.

"Namanya Ara." Sagara mengangguk. Ternyata benar. "Lengkapnya, Ara Fee Smith," lanjutnya, membuat Sagara langsung menoleh pada Dito.

"Siapa lo bilang?" tanya Sagara.

"Ara Fee Smith," ujar Dito.

Sagara langsung diam begitu saja.

***

Bel istirahat telah berbunyi. Membuat semua murid berteriak kegirangan. Mereka semua langsung bergegas pergi keluar kelas dan menuju ke kantin sekolah. Tak terkecuali Ara dan Era.

"Ayo Ara!" teriak Era kencang. Membuat semua murid yang belum keluar dari kelas, menoleh dan menatap Era malas. "Udah laper gue, Ra. Nanti aja lanjut gambarnya!" ujar Era sambil menarik tangan Ara.

"Iya Er, sebentar. Aku masukin buku gambar aku," balas Ara sambil memasukkan buku gambar dan peralatan tulis lainnya ke dalam laci mejanya.

Setelah itu mereka bergegas keluar kelas mereka. Sepanjang koridor, Ara tersenyum pada mereka yang menyapanya. Sedangkan, Era hanya menggerutu karena perutnya sudah terasa lapar sekali.

Sesampainya di kantin, Era segera memesan makanan untuk mereka. Tidak sampai lima menit, Era datang dengan nampan berisi dua piring nasi goreng dan bakso. Serta tiga gelas es teh manis.

"Itu bakso buat siapa Er?" tanya Ara sambil menatap Era dan mangkok bakso itu bergantian.

"Buat gue lah. Gue laper banget Ra, sumpah!" Era mulai memakan nasi gorengnya. Begitu juga dengan Ara. Dia memasukkan satu suap nasi goreng ke mulutnya.

Era mengelus perutnya setelah menghabiskan nasi goreng, bakso, dan dua gelas es tehnya itu. Ara hanya menatap Era dengan senyuman gelinya.

"Kamu doyan, laper, apa rakus Er?" tanya Ara sambil terkekeh.

"Semuanya Er. Enak banget tapi kenyang gue.. jadi ngantuk," ujar Era. "Habis ini kita olahraga lagi. Aduh...."

"Iya. Tapi jamkos kok. Pak Deden gak masuk. Kita cuma main di lapangan doang," ujar Ara.

"Syukur deh."

"Ya udah ayo ke kelas," ajak Ara sambil bangkit dari duduknya. Lalu berjalan keluar dari kantin bersama Era.

Dari tempat duduk paling pojok di kantin. Sagara menatap Ara dalam diam. Bahkan dia tidak mendengarkan Dito yang sedang asyik berbicara sendiri.

Sagara terus menatap punggung Ara yang mulai hilang saat telah keluar dari kantin.

Dia kembarannya Ale? batin Sagara bertanya-tanya.

SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang