2. Sebaik Malaikat

795 55 0
                                    

"Ibu, maaf saya gak bisa mampir. Saya harus segera pulang. Sampai sini saja tidak papa kan Bu?" Ara hanya berhenti di depan gerbang besi yang warnanya hampir pudar.

"Tidak papa Nak. Sekali lagi Ibu mengucapkan terima kasih. Kamu kasih tau dimana alamat kamu. Kalo Ibu sudah bisa mengganti semuanya, Ibu akan ke rumahmu," ujar wanita itu. Yang Ara tahu namanya Mira.

"Bu, saya ikhlas. Ibu tidak perlu mengembalikannya kepada saya." Ara menggenggam tangan wanita itu. "Kapan-kapan saya boleh main kesini Bu? Sepertinya rumah Ib ini menyenangkan. Ada banyak bunga di samping rumah Ibu," ujar Ara sambil tersenyum.

"Ah, rumah Ibu jelek gini kok. Itu bunga juga Ibu cuma iseng aja ngisi waktu luang," ujar Mira. "Kamu boleh kok main kesini kalo kamu mau masuk ke dalam gubuk reyot Ibu itu," lanjutnya sambil terkekeh, bercanda.

"Jangan gitu Bu." Ara ikut terkekeh. "Saya pamit ya Bu." Ara mencium punggung tangan wanita itu lembut.

"Kamu hati-hati ya. Terima kasih banyak sekali lagi. Kamu sangat baik Nak," ujar Mira hampir menangis karena perlakuan seorang gadis di depannya ini.

Mira lalu masuk ke dalam rumahnya sambil sedikit tertatih. Lalu pintu rumahnya terbuka.

"Bunda! Astaga! Kaki Bunda kenapa?" tanya seseorang yang tadi hanya mengintip dibalik jendela rumahnya. Tapi tidak menyadari jika ternyata kaki ibunya itu terluka.

"Sagara? Kamu udah pulang?" tanya Mira.

"Kaki Bunda kenapa? Dan siapa cewek tadi?" tanya Sagara. Sambil membantu ibunya duduk di sofa berukuran kecil itu.

"Namanya Ara. Dia malaikat penyelamat bunda," jawabnya sambil tersenyum. "Dia sangat baik. Lemah lembut dan berani."

"Ceritakan kenapa Bun," desak Sagara. "Tunggu Bun. Biar Sagara ambilkan kompresan dulu."

Sagara segera berlari secepat kilat ke dapur untuk mengambil air dan handuk kecil, juga kotak P3K. Setelah itu dia kembali duduk di samping ibunya. Memeras handuk yang sudah basah itu lalu menempelkannya pada lutut ibunya dengan sangat pelan.

"Tadi ada preman yang nagih hutang sama Bunda, Saga. Sepuluh juta sama bunganya. Mereka juga yang dorong Bunda sampe jatuh," jelasnya yang membuat Sagara melotot. "Dan dia juga yang membantu Bunda."

"Dia nyerahin HP-nya yang mahal itu. Kalo gak salah harganya sepuluh juta. Dia juga nambah satu juta dan preman itu pergi," lanjut Mira.

"Dia kenal Bunda?"

"Enggak. Dan Bunda mau ganti kalo Bunda udah punya uang, dia gak mau. Katanya ikhlas. Hatinya sangat baik dan mulia sekali," ujar Mira. "Sopan juga anaknya."

Sagara lalu menempelkan plaster pada lutut ibunya.

"Oh iya Saga, besok kamu masuk sekolah baru kan?" Mira membuyarkan lamunan Sagara.

"Eh, iya Bun."

"Kamu yakin mau masuk ke sekolah itu? Memangnya kenapa sih kamu mau pindah?" tanya Mira sambil mengelus kepala Sagara.

"Kan biayanya lebih murah Bun," jawabnya santai.

"Jangan bohong sama Bunda. Kalo kamu memang memikirkan biaya, sudah pasti kamu pindah dari dulu semenjak kita pindah kesini satu tahun yang lalu dong?" Perkataan Mira membuat Sagara bungkam.

Memang benar tadi dia berbohong. Alasan kepindahannya itu bukan karena biaya saja. Tapi ada hal lain.

"Gak papa kalo kamu gak mau cerita. Bunda ke kamar dulu ya."

"Iya Bun. Ayo Saga antar ke kamar." Sagara segera memapah Mira untuk masuk ke dalam kamarnya.

***

Ara memasuki rumahnya sekitar pukul setengah enam sore. Pertama kalinya dia pulang sekolah tidak langsung pulang.

"Ara? Kamu kemana aja sih?! Mama khawatir banget sama Papa kamu. HP kamu juga nggak aktif. Kenapa sih?!" serbu Chika dengan raut wajah khawatir.

Baru saja Ara ingin menjawab, suara Chiko terdengar menyela ucapannya.

"Lah ini anaknya! Kamu kemana aja sih sayang?! Baru kali ini kamu pulang se-sore ini," ujar Chiko.

"Oke. Maafin Ara gak kabarin Mama-Papa. Soalnya HP Ara udah buat bayar hutang," jawabnya.

"Hutang?" Chika dan Chiko saling pandang.

"Kamu punya hutang? Papa kaya raya dan anaknya ini punya hutang?" tanya Chiko tidak percaya.

"Bukan Pa. Tadi itu ada ibu-ibu gitu dijahatin sama preman. Ternyata punya hutang sepuluh juta. Ya udah, aku kasih HP aku kan harganya sepuluh juta-an itu. Terus tadi aku anterin juga ke rumahnya, soalnya kakinya lecet. Gak papa kan?" jelasnya pada kedua orang tuanya.

Chika dan Chiko melongo mendengarkannya. Bagaimana bisa dia semudah itu kepada seseorang yang baru saja dia kenal?

"Gak papa sayang. Besok Papa beliin kamu HP baru, oke? Kamu ke kamar gih, mandi terus istirahat." Chiko mengelus pelan kepala Ara dengan sayang.

"Iya."

Setelah kepergian Ara, Chiko menatap Chika.

"Dulu aku gak kayak gitu, sumpah! Dia anak aku atau bukan sih?" tanyanya pada Chika.

"Bukan aku juga. Mau gak percaya dia bukan anak aku, tapi aku yang lahirin dia," ujar Chika.

Detik kemudian mereka tertawa bersama. Sangat gila!

SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang