5. Cafe

546 38 15
                                    

Ara dan Ale memasuki rumah mereka disambut oleh sang ibu tercinta. Chika memeluk mereka berdua bergantian. Kebetulan Chiko lembur malam ini, jadi dia belum pulang.

"Papa belum pulang?" tanya Ara pada Chika.

"Lembur. Kayaknya pulang malam banget katanya," jawab Chika. "Ayo makan dulu."

"Mama. Ara pindahin aja deh di di sekolah aku," celetuk Ale, membuat Ara langsung menoleh dan memutar bola matanya malas.

"Gak mau. Aku gak mau satu sekolah sama Abang. Titik!" Ara bersikeras pada pendiriannya.

"Lagian apa sih yang kamu banggain sama sekolah itu. Bagusan sekolah Abang. Lebih mahal," sombongnya sambil menegak air putih di meja makan.

"Yang penting cari ilmu. Dimana pun tempatnya, kan niatnya yang utama. Buat apa sekolah mahal-mahal tapi gak niat ya percuma, right?" Ara menatap Ale dengan senyuman mengejeknya.

Chika terkekeh melihat Ale yang terdiam. Entah kenapa Ale sangat suka memaksa Ara untuk satu sekolah dengannya.

"Sudah-sudah, makan dulu ya. Debatnya nanti dilanjut," lerai Chika sambil memberikan piring yang sudah ada nasi serta lauk-pauknya kepada Ara dan Ale.

Mereka lalu diam dan memilih untuk memakan makanan yang diberikan oleh sang ibu tercinta.

Drrttt....

Ponsel Ale bergetar, membuatnya berhenti makan dan mengambil ponselnya di saku celananya. Ale lalu menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilannya.

"Kenapa Al?" Ale memasukkan satu suap sendok ke dalam mulutnya dengan tangan kiri yang memegang ponsel.

"...."

"Habis ini gue kesana," balas Ale lalu mematikan sambungan teleponnya. Ale menegak air putih lagi. Lalu bangkit dari duduknya sambil mengambil tisu dan mengelap bibirnya.

"Mau kemana kamu?" tanya Chika.

"Kumpul sama temen-temen Ma. Gak papa kan?" tanya Ale sambil menampilkan raut memelasnya.

Ara hanya memutar bola matanya malas. "Ma, aku ke atas dulu ya."

"Iya. Mama juga mau keluar habis ini. Ara, kamu di rumah ajak kan?" tanya Chika. Dan diangguki oleh Ara.

"Ale, kamu jangan pulang terlalu larut nanti," pesan Chika pada Ale.

"Oh yes Mama!" Ale tersenyum lebar, lalu melangkah menuju ke kamarnya.

***

"Huft!"

Sagara mengelap pelipisnya yang berkeringat. Wajahnya penuh dengan oli. Saat ini dia sedang beristirahat sebentar, karena setelah ini dia akan pulang. Istirahat sebentar, lalu kembali bekerja pada malam hari sebagai pelayan di cafe.

Ya, Sagara bekerja paruh waktu. Saat pulang sekolah, dia akan bekerja di bengkel motor sampai jam lima saja. Tadi dia terlambat karena dia menunggu Ara keluar dari ruangan Bu Sela.

Saat malamnya, sekitar pukul enam dia akan ke cafe dan menjadi pelayan. Dan pulang sekitar jam sembilan sampai sepuluh malam. Beruntung, tempatnya bekerja mengerti jika dia masih sekolah dan hanya bisa bekerja beberapa jam saja.

"Mau pulang kamu?" tanya Pak Sapto, orang yang juga bekerja bersamanya. Umurnya sekitar 40 tahun-an.

"Iya Pak. Nanti jam enam harus berangkat lagi," jawabnya sambil membereskan peralatan bengkel dan memasukkannya ke dalam kotak berwarna merah.

"Semangat terus ya Sa kamu. Kamu masih sekolah, tapi mau bekerja keras," ujar Pak Sapto.

"Harus Pak. Saya gak mau sebenarnya Bunda saya juga bekerja, tapi Bunda tetep kerja aja di toko," ujar Sagara.

"Yang terpenting Bundamu tidak terlalu kelelahan. Tapi, apa saya boleh tanya sesuatu?" tanya Pak Sapto.

"Apa Pak?"

"Kamu bilang kan, kamu punya hutang berapa juta itu. Memang buat apa?" tanya Pak Sapto.

Sagara tersenyum. "Buat tambahan bayar operasi Bunda. Bunda harus di operasi karena ginjalnya bermasalah. Tapi alhamdulillah sekarang sudah sehat," jawab Sagara.

Ya, Sagara terpaksa hutang kepada preman itu untuk tambahan biaya operasi ibunya. Tapi mereka malah menagihnya pada ibunya, dan akhirnya ibunya harus ikut bekerja.

"Ayahmu kemana?" tanya Pak Sapto.

Sagara terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Pak Sapto. Dia lalu tersenyum miris. "Pak, saya pulang duluan ya."

***

"Halo Er? Kenapa ya?" tanya Ara saat sudah menjawab panggilan dari Era. Saat ini sudah pukul 7 malam.

"...."

"Oh iya aku lupa. Ya udah aku anter bukunya ke rumah kamu sekarang," ujar Ara.

"...."

"Oke, ketemu di cafe ya," balas Ara lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Ara membereskan peralatan memggambarnya dan mengganti pakaiannya. Dia memkau rok berwarna peach se-lutut dan baju lengan pendek berwarna hitam dimasukkan ke dalam rok. Lalu Ara turun ke bawah.

"Ma, aku ke cafe ya. Mau nganter bukunya Era. Soalnya ke bawa sama aku," ijinnya pada Chika.

"Nganternya ke rumahnya dong. Kok ke cafe?" tanya Ale menyahut.

"Era mintanya di cafe. Mau ngopi juga bentar," balas Ara.

"Ayo Abang antar aja. Abang juga mau kekuar," ujar Ale.

"Gak. Aku mau minta di anter sama Pak Joko aja," ujar Ara cepat.

"Dada Mama."

Ara langsung keluar rumah dan meminta Pak Joko untuk mengantarnya ke cafe.

Tidak berapa lama kemudian, Ara sampai dan memasuki cafe seorang diri. Era bilang jika dia masih dalam perjalanan. Kemungkinan sepuluh menitan lagi. Ara lebih baik memesan kopi saja terlebih dahulu.

Tidak berapa lama kemudian, pesanannya datang. Sampai dia akhirnya mendongak saat mendengar seseorang memanggilnya.

"Ara?"

"Loh? Sagara kan?" tanya Ara sambil mengingat-ingat.

"Iya." Sagara menaruh kopi pesanan Ara di meja Ara.

"Kamu kerja disini?" tanya Ara.

"Iya."

"Sejak kapan?"

"Setahun yang lalu."

"Ya udah, gue lanjut lagi ya." Sagara tersenyum dan dibalas senyuman juga oleh Ara.

Tidak lama kemudian, Era datang dan langsung duduk begitu saja di depan Ara dengan napas ngos-ngosan.

"Kamu kenapa kok kayak gitu? Lagian buru-buru amat sih?" tanya Ara yang tadinya terkejut.

"Gawat!"

"Apa?"

"Tadi gue lihat Abang lo, Ale. Berantem di ujung jalan yang sepi," ujar Era membuat Ara melotot.

"Apa? Jadi Abang keluar tadi mau berantem?"

"Ayo cepetan kesana. Siapa tau lo bisa berhentiin Abang lo itu," desak Era.

"Ayo!"

SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang