Part 27: It's Hurt

256 35 0
                                    

Cerita ini mengandung unsur-unsur kekerasan namun tidak bermaksud untuk memprovokasi. Pembaca diharapkan bijak dalam membaca. Jangan pernah meniru ataupun mencoba menerapkan kejadian-kejadian dan hal-hal buruk dalam cerita ini.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

"Abeoji! Sak-iit! To-tolong hentikan...! Namjoon mohon," Namjoon berlutut memohon pada ayahnya.

Dia sudah lupa ini hari keberapa, dia tak tahu ini hari apa, Namjoon hanya ingin eomma nya, pikirnya, "Apa yang kuperbuat? Ada apa dengan Abeoji? Perasaan Abeoji tidak pernah seperti ini. Apa karena Eomma pergi dari rumah lumayan lama?"

Tuan Kim tak menggubrisnya. Dengan kasar dia menarik kerah baju anaknya, mengangkatnya cukup tinggi, lalu membantingnya ke lantai yang keras.

Namjoon meringis kesakitan. Tangan Tuan Kim kembali terangkat mengarah padanya.

Tapi dering telepon Tuan Kim menginterupsi mereka. Tuan Kim keluar dari kamrnya untuk menerima telepon penting itu. Namjoon bergegas merangkak ke pojokan kamarnya, memeluk dirinya seolah hal itu akan menyembunyikan dirinya.

Terdengar samar notifikasi pesan masuk di dekatnya, Namjoon pun sadar kalau itu bisa saja adalah ponselnya. Dia segera mencari keberadaan benda itu.

"Ketemu!"

Pesan yang baru masuk adalah dari sang ibu, "Eomma sedang di jalan lohh"

Namjoon tersenyum tipis, dia sangat senang hingga ingin menangis.

Pintu kamarnya terdengar dibuka dan ada seseorang yang masuk, terdengar pula Tuan Kim yang sepertinya sedang mengucapkan kalimat-kalimat terakhir sebelum mengakhiri sambungan telepon itu. Namjoon merapatkan tubuhnya, ponselnya bergetar, ibunya meneleponnya.

Namjoon reflek memencet tombol hijau di sana.

"Namjoon-a~ Mwohae*~?" Suara sang ibu membuat Namjoon tenggelam dalam kesedihannya.
*Mwohae?= Kau sedang apa?

"E-Eom-ma," Namjoon tak bisa berkata-kata.

"Eiyy~ Kenapa menangis hmm? Namjoon-ie rindu Eomma so much yaa...?"

Sementara itu Namjoon melihat presensi Tuan Kim yang menyadari kalau dia tengah menempel pada ponselnya.

Tuan Kim terlihat marah! Benar-benar marah dan terlihat benar-benar mengerikan.

Namjoon menangis histeris, bum ingin mengakhiri sambungan telepon dengan ibunya, "Eom-ma, Eom-ma cepat pulang. J-Joon-ie takut,"

"Joon-ie? Hey? Takut apa??? Abeoji bagaimana kabarnya hmm?"

"Eom-ma, c-cepat pulang,"

"Iyaa ini Eomma sedang di jalan sayang~ Sabar yaa... Oh ya! Eomma punya oleh-oleh untuk Namjoon-ie loohh,"

Namjoon menggeleng keras, "Joon-ie gak mau itu, Joon-ie hanya ingin Eomma cepat-,"

Ponselnya direbut paksa oleh Tuan Kim. Benda itu dibanting hingga hancur.

"Andwae! Eomma!"

Tuan Kim yang dipuncak amarah tak bisa mengendalikan kekuatannya. Dia melempar anak semata wayangnya itu ke tembok.

Namjoon meringis lirih, dia hampir kehilangan kesadarannya, "Eom-ma,"

Pandangannya menghitam, hal terakhir yang Namjoon dengar adalah ponsel Tuan Kim yang berdering.

***

Pandangan Namjoon begitu kosong namun tidak dengan pikirannya. Dia menatap lurus ke pintu kamarnya dengan kaki ranjang yang ia jadikan senderan.

Lisannya sesekali akan mengucap, "Eomma," Dengan lirih.

"Eomma bilang akan pulang,"

"Eomma bilang, Eomma punya hadiah untukku, tapi kenapa-,"

"Semuanya salahmu! Anak sialan!" Teringat olehnya kalimat Tuan Kim.

"Ya, semuanya salahku,"

"Wanitaku, anakku Kim Minki, kau membunuhnya! Kau pembunuh! Anak sialan! Tak berguna!!"

"Yes, i am,"

Jangan heran mengapa anak semata wayang ini tak ada di upacara pemakaman sang ibu.

"Kau tak berhak bertemu wanitaku! Jangan pernah tunjukkan wajah penuh dosa mu itu padanya!"

Pintu kamarnya diketuk pelan.

"Eomma? Apa itu kau? Kau sudah pulang?"

Tak ada jawaban.

Namjoon tersenyum begitu sumringah. Bangkit dan merapikan pakaian berkabung yang ia pakai sedari dini hari.

Segera meraih gagang pintu kamarnya dan berusaha membukanya.

"Ah! Aku lupa, Abeoji mengunciku Eomma, Eomma bawa kuncinya kan? Ayo cepat buka pintunya! Joon-ie ingin bertemu Eomma! Joonie ingin memeluk Eomma!"

Terdengar bunyi kunci yang dimasukkan ke dalam lubang kunci dan lalu gagang pintu itu tertekan, pintu kamarnya menampakkan celah namun itu bukan sang Eomma.

Itu hanya Tuan Han yang membawakan sarapan untuknya. Namjoon terheran-heran, perlahan melangkah mundur dengan tergesa-gesa.

"E-Eom-ma d-di mana P-Pama-n?" Ucapnya susah payah melawan isak tangis dan kesedihan dalam jiwanya.

"Tuan muda, silahkan sarapannya," Tuan Han menaruh nampan kayu itu di atas nakas.

"Paman, Eom-ma,"

"Saya pamit Tuan,"

Pintu kembali ditutup, kembali dikunci, dan Namjoon kembali terduduk menatap kosong pintu kamarnya. Air mata nya kembali terjun bebas, dengan "Eomma," yang terus ia ucap lirih.

Apakah luka ini yang terlalu besar untuknya? Atau dia yang terlalu lemah?

Bersambung...

La Sensibilità ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang