4. Hari Pertama

5.3K 725 51
                                    

"Jelasin ke mama sekarang."

Johan menghela nafas, entah sudah berapa kali ia melakukannya. Ia melirik dengan kasian pada nasi gorengnya yang jadi santapan sang mama. Hadeuh padahal Johan lagi pengen nasi goreng, baru juga dua suapan diganggu.

"Ma, itu nasi goreng-"

"Ah sabodo. Beli lagi ntar, mama laper nih sekalian."

Johan hanya menatap datar sang mama yang makin lahap memakan nasi gorengnya. Lalu ia beralih pada cowo manis yang sedaritadi cuman diam memandangi wanita cantik yang sedang membabi buta memangsa nasi goreng di depan mereka.

"Mas..."

Panggilnya pelan, menarik narik kecil lengan baju Johan. Johan hanya tersenyum kecil, menepuk nepuk kepala Jefri sebelum menghadap mamanya. Syukurlah sudah selesai acara makan beliau tapi Johan masih ga rela kehilangan nasi gorengnya.

"Jadi gini ma-"

"BENTAR DULU"

Pekikan menggelegar sang mama membuat Johan menelan lagi kalimat yang hendak dilontarkannya. Dahinya berkedut menahan emosi, ia dibuat bingung dengan sang mama yang bangkit lalu duduk di sebelah Jefri.

Kedua irisnya yang mirip dengan sang putera menatap lurus dan intens Jefri, yang hanya mengerjap ngerjap gugup dengan senyuman kikuk. Diam diam ia sudah gemetar dan berkeringat dingin. Perutnya mulai bergejolak, jika gugup Jefri pasti sakit perut. Tapi ia juga sangsi jika hendak pamit ke kamar mandi.

"Kamu kok mau sih sama anak saya yang kayak triplek gini."

Celetukan yang tak terduga dari wanita cantik itu membuat Jefri melongo. Wajah yang semula berkerut galak terganti dengan rengutan lucu dan tatapan gemas. Kedua tangannya membingkai pipi bulat Jefri. Menekan nekan dengan gemas sebelum ia sempat mencium pipi pria yang sedang kebingungan itu, Johan berdehem agak kencang dan menarik Jefri menjauh dari mamanya.

"Mama apasih. Bikin Jefri takut." Protesnya dengan kesal. Memandangi Jefri yang hanya mengedip ngedip dengan pipi yang memerah akibat tangan jahil mamanya. Gatal sekali tangannya ingin ikut mengusap pipi yang terlihat kenyal dan lembut itu. Tapi gengsi lagi lagi menahannya dan membuatnya hanya memandangi Jefri.

"Ya habis kamu nemu dimana kok lucu banget, jangan bilang kamu culik dia ya?"

Tatapan menyelidik mamanya membuat Johan memutar bola matanya malas.

"Ah cape ngomong sama mama, dah lah mama pulang aja nanti papa ngirain mama minggat lagi." Usirnya dengan setengah hati. Jefri sedaritadi hanya diam tak berani ikut berbicara karena ia masih kebingungan. Tapi melihat betapa santainya Johan dan sang ibu berdebat, ia tahu ikatan mereka sangat kuat. Apalagi wanita yang masih sangat cantik di usianya itu tidak terganggu sama sekali dengan puteranya yang sedikit tidak sopan.

"Pokoknya kita belum selesai. Dadah Jefri manis, kapan kapan main ya sama tante, kalau Johan macem macem bilang sama tante."

Sang mama mencubit gemas ujung hidung Johan, mengabaikan erangan kesal si empunya sebelum melambai dengan riang pada Jefri sembari berjalan ke arah pintu. Jefri balas tersenyum sambil melambai riang. Begitu pintu tertutup, Jefri segera menghadap Johan dengan serius.

"Mas kok bilang sama mamanya mas kalau kita pacaran kan kita-"

"Jefri." Potong Johan dengan lembut, membuat Jefri sedikit terkejut akan nada suaranya yang berubah. Tangan besar pria itu membungkus tangannya yang gemetaran lalu mengusap punggung tangan halus Jefri dengan ibu jarinya. Tak ayal membuat detak jantung Jefri kembali berpacu. Keduanya diam sebentar, Johan dengan entah pikirannya dan Jefri yang berusaha menetralkan perasaan aneh yang menjalari seluruh tubuhnya dengan kehangatan. Aneh. Dia tidak pernah merasakan seperti ini ketika menggandeng sahabatnya, Winanda. Kenapa? Kenapa dengan Johan ia merasa seperti ini?

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang