28. Berdua II 🔞

6.4K 408 49
                                    


"Maaf Mas, aku gabisa...."

"Kenapa...? Kenapa kamu gabisa?"

Cincin yang dipegangnya jatuh, menggelinding hingga berhenti tepat disamping kaki orang yang baru saja meruntuhkan harapannya. Tangannya gemetar, kedua matanya membulat dan wajahnya menunjukkan patah hati yang amat sangat menyakitkan. Irisnya yang berkilat oleh kesedihan membuat lawan bicaranya mengulum bibirnya dengan perasaan bersalah.

"Jelaskan kenapa!"

"Karena anak ini bukan-












Pip!













"Halah Mas Johan kok dimatiin!"

Jefri menggembungkan pipinya dengan sebal sembari menatap Johan yang berdiri di samping sofa tempatnya berbaring. Tangan pria tampan tersebut memegang remote televisi yang baru saja ia matikan karena sinetron lebay yang Jefri tonton menurutnya terlalu dramatis. Meletakkan remote tersebut di meja tepat di depan sofa, Johan menepuk pantat Jefri yang tengkurap di sofa untuk meminta ruang. Setelah dengan merajuk Jefri bangun duduk bersila di sofa, Johan segera duduk merapat disampingnya. Merangkul bahu Jefri yang lebih mungil darinya sebelum mengecup kening yang tertutup surai merah muda milik kekasih manisnya.

"Kamu nih nontonnya beginian, makanya suka nethink."

Menyentil pelan dahi Jefri, Johan terkekeh gemas begitu Jefri mengaduh dan melotot ke arahnya. Entah kenapa Jefri jadi semakin galak atau memang hormon kehamilannya. Johan merunduk, menggesekkan hidungnya pada perut Jefri yang berlapis kaus super besar, yang tentunya milik Johan, membungkus tubuhnya dengan menggemaskan. Jefri memang pria yang tinggi namun Johan memiliki tubuh yang lebih besar darinya. Tubuhnya serasa tenggelam dalam baju Johan. Tangannya yang lentik dan cantik menyisir surai kemerahan Johan, kedua telinganya memerah lucu memperhatikan kekasihnya tampak asyik mendusal di perutnya dan sesekali menciumnya.

"Habis aku bosen, Mas lagi sibuk sama kerjaan. Masa aku motongin rumput sama ngaspal jalan?"

Mendengarnya Johan tak mampu untuk menahan tawanya, menegakkan tubuhnya ia segera merengkuh lembut tubuh Jefri ke dalam rangkum dadanya. Mengecup gemas surai halus sewarna rona di pipi bulatnya sebelum meraih tangan kiri Jefri dan menggenggamnya. Mengusap pelan cincin yang melingkar manis di jari manis Jefri.

"Ya ga gitu juga yang. Yuk kamu laper ga? Mau makan apa? Toge mau makan apa?"

Satu tangannya yang bebas mengusap perut Jefri, kening si manis berkerut dengan sebal karena lagi lagi Johan memanggil bayi mereka dengan nama sayur.

"Aku mau ketoprak Mas."

"Oke kita pesen-

"Tapi sausnya pakai saus duren."

.

.

.

Bulan sebenarnya sudah biasa dengan pasien pasien nyeleneh yang datang ke dia dengan berbagai penyakit. Kebanyakan alasan saja karena ingin mengobrol dengan dokter setampan dia. Tapi dia baru kali ini didatangin oleh seorang pasien. Dengan wajah lesu seperti habis kalah sabung ayam, rambut hitam pendek yang acak acakan dan kerutan di wajahnya yang mirip kelinci. Bulan melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya sebelum memasang senyum tampan begitu sang pasien duduk loyo di kursi tepat di sebrang mejanya.

"Selamat pagi, atas nama..."

Bulan membuka berkas yang diberikan oleh suster sebelum sang pasien masup lalu membacanya. Alisnya naik sebelah membaca gejala yang diisi dengan 'diare, susah makan dan kurang tidur karena patah hati'. Dengan penasaran ia mendongak, mengamati wajah lunglai pasien tersebut dengam heran.

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang