37. Epilog

3.4K 306 28
                                    


"Bu gulu, Yeon sudah selesai!"

Kaki kecil yang berlari dengan kaus kaki bermotif dinosaurus melintasi kelas, dari duduk paling belakang ke depan. Menggenggam kertas bergambar empat figur manusia yang berantakan dan khas anak anak dengan beberapa tempelan bunga yang digunting dari kertas lipat. Tangannya yang gemuk kotor oleh noda lem dan taburan kerlap kerlip. Namun senyumannya lebar, penuh gigi mungil yang bagus dan rata, lesung pipit tersemat di pipinya yang pucat dan bundar. Berjinjit kecil, ia menyerahkan hasil karyanya pada Ibu Guru.

"Wah, bagus! Leon gambar apa?"

Berjongkok menyamakan tinggi dengan balita berumur lima tahun yang masih kesusahan mengeja huruf R dan L, namun tinggi badannya yang mirip sang Papa menjulang di antara teman temannya yang lain. Leon tersenyum malu sambil menutup bibirnya ketika kikikan kecil meluncur, kakinya bergerak gerak tidak bisa diam.

"Papa." Menunjuk satu figur yang ia gambar paling tinggi dan memakai topi. "Mama." Kebiasaan lamanya yaitu mengemut jari telunjuk masih ada, sembari menunjuk figur yang lebih pendek dengan mahkota bunga yang lumayan detail. "Yeon!" Tunjuknya bersemangat pada yang ia gambar sebagai dirinya, dengan tas dan sepatu kebesaran lalu menujuk figur kecil yang disandingkan dengan boneka beruang yang digambar seadanya dengan tubuh bulat dan telinga serta mata. "Ini adik Yeon!"

"Leon mau punya adik?"

Leon mengangguk masih tersenyum gemas dengan tubuh yang ia goyangkan karena malu.

"Minnie kan adik Leon, Shodikin juga tuh anaknya Om Yudha."

Tommy yang sedang kebetulan duduk di sebelah meja Minnie, putrinya yang sedang membentuk sesuatu dengan lilin mainan menyahut. Mengajari Shodikin, putera Yudha dan Winanda yang kebetulan disekolahkan awal sehingga satu kelas dengan kedua teman sepermainnya membuat pesawat.

"Tapi Yeon mau adik bayi, Om Toti."

Bibirnya maju dengan merajuk dan Tommy jadi ingat kelakuan Mamanya yang sama persis.

"Minta nanti ya sama Papa, kasian juga Papa dah tua keburu encok kalau ga dikasih ja-adaw yang!"

Lilis, yang juga kebetulan jadi guru taman kanak kanak dan mengajar di sekolah puterinya bersama dua temannya ini menjewer telinga suaminya yang mulutnya sedikit tidak bisa diikat.

"Yuk, Leon sudah ditunggu Papa diluar. Kata Papa mau diajak lihat rumah baru. Leon suka?"

Dengan berbinar, Leon segera mengangguk, berlari kencang mengabaikan panggilan Lilis untuk berhati hati ke rak penyimpanan tas. Mengambil tas berwarna biru tua dengan sebuah boneka dinosaurus menggantung di bagian depannya, dengan bersenandung Leon memasukkan krayon hingga karyanya ke dalam, yang akan ditunjukkan pada Mama nanti. Memakai sepatunya dengan mandiri, putera semata wayang Johan itu dengan sopan mencium tangan Lilis dan Tommy mengucapkan terimakasih sebelum berlari keluar sembari berteriak.

"Papaaaaaaaaa!"

Johan yang sedang menyalakan korek gelagapan, membuang putung rokok yang terjapit di bibirnya lalu mengantongi koreknya buru buru. Seorang wali murid yang juga nongki di sebelahnya tertawa melihat aksi bapak bapak ganteng dan keren itu. Menyisir rambut pirangnya yang lebih pendek, Johan bangkit dari posisi berjongkok di samping penjual pecel untuk menyambut Leon yang segera melompat ke pelukannya.

"Papa aku kangen papa."

Dada Papa selalu paling nyaman untuk bersandar, hangat dan lebar, Leon tidak akan pernah bosan meminta digendong lalu menempeli dada Papa sampai tidur pulas. Hidungnya mengerut mencium bau sesuatu di kaus hitam yang dilapisi jaket denim Papa.

"Papa ngeyokok ya? Nda boyeh yokok nanti atit, kata bu gulu kita halus sehat. Papa juga halus sehat."

Dengan terbata bata karena lidahnya terpeleset setiap mengeja huruf R dan L, Leon menggeleng geleng dan menunjuk nunjuk dada sang Papa yang tersenyum kikuk.

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang