Selingan I : Mahardika

2.4K 343 63
                                    

Jeda di antara bulan dan bintang
.

Hanya selingan berisi spinoff dari jagat Larung Asmara. Mengandung sedikit spoiler.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









.

Kata orang cinta yang ia alami hanya cinta monyet, tapi kenapa perasaan yang tumpah ruah memenuhi relung hatinya abadi hingga ia menggapai mimpinya?

Mahardika bukanlah pria yang pandai merangkai untaian syair terindah untuk dipersembahkan pada pemegang hatinya. Dia hanya seorang remaja, masih berjalan kesana kemari mencari jati diri dan menyusun masa depannya. Dia tidak pernah mau terlibat dalam rumitnya persoalan hati, jatuh bangunnya seseorang mengenal cinta karena sudah cukup baginya bahagia menjalani masa masa sekolah.

Tapi dia salah.

Takdir memang suka sekali memberikan kejutan yang bahkan ia sendiri tak pernah menginginkannya.

Momen yang sangat tak terduga pun menjadi satu dari banyak lembaran peristiwa penting yang akan ia isi di dalam buku bernama kehidupan miliknya.

"Adek, sekolah dimana?"

Tersadar dari lamunannya, Dika menggaruk pipinya yang tidak gatal dan tersenyum kikuk. Almamater pinjaman yang ia ambil secara diam diam dari kamar kakaknya terpasang di tubuhnya yang jangkung, namun seragam sekolah yang berusaha ia tutupi tidak mampu menyembunyikan fakta bahwa ia pelajar yang ikut ikutan demo mahasiswa. Di tangan kanannya tergenggam sebuah teh botol yang hampir habis, tangan dan dadanya terasa hangat oleh suatu perasaan asing yang belum pernah ia rasakan.

"Harapan Bangsa, Bang."

Jawab Dika setelah membasahi bibirnya yang tiba tiba kering. Kedua matanya meneliti pria yang ikut duduk bersila di aspal. Wajah yang sangat manis untuk ukuran mahasiswa, matanya tak bisa lepas dari lesung pipit yang timbul malu malu ketika pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai Jefri itu berbicara atau tersenyum.

"Wah di sebrang kampus aku dong! Kok kamu bisa ikutan demo sih, nanti dimarahin orang tua kamu gimana? Disini juga bahaya, nanti kamu ga sengaja kena."

Suaranya yang lebih berat dari Dika namun mengalun dengan halus serta pelan menambah banyak nilai bagus yang ia berikan pada Jefri. Dika suka bagaimana hidungnya yang sangat mengundang untuk dipemcet mengerut setiap kali ia tersenyum.

Dika tidak yakin perasaan apa yang ia rasakan saat bertemu Jefri tapi yang ia tahu bahwa ia sedang jatuh cinta.

.

.

.

Waktu cepat berlalu begitu pula dirimu yang semakin jauh kugapai, aku sudah menggapai mimpiku tapi tanpa dirimu.

"Leon, rambutmu kok jadi kayak ayam ayaman di pasar malam begini?"

Seorang anak yang Dika panggil Leon mengangkat kepalanya dari buku mewarnai yang sedaritadi ia tekuni. Rambut halusnya bergerak mengikuti pergerakan kepalanya, senyuman lebar dan manis yang sangat mirip seseorang membuat dadanya nyeri sedikit.

"Uncle Tommy paint my hair, Om Dika!"

Untuk anak seusia Leon, ia sangat mahir berbahasa asing. Meskipun sang mama sering mengingatkannya untuk berbicara bahasa indonesia tapi Leon lebih suka bahasa keduanya. Salahkan pada papanya yang semenjak Leon lahir di keluarga Wiraguna membawa kebahagiaan untuk semua orang, ia selalu berbicara dengan memakai bahasa inggris. Dika sendiri tidak keberatan karena rata rata keluarga mereka berdarah barat, menggunakan bahasa asing bukanlah masalah besar. Senyuman geli terkulum di bibirnya mengingat wajah kesal seseorang yang selalu mengeluh karena dia satu satunya yang tidak bisa berbahasa inggris.

"Did you like it?"

"Yes! But mama ga suka, mama menangis kemarin. Dia bilang aku kayak iguana."

Kali ini Dika tidak bisa untuk tidak tertawa kencang. Seluruh tubuhnya gemetar karena tawa dan tangannya menepuk nepuk brutal sandaran sofa. Leon sendiri hanya mengerjap menatap Oomnya yang seperti kerasuka itu.

"Anjir masih aja itu orang. Eh but why you still call him mama, you should call him 'Ayah'."

"Nuuh. Mama melahirkan Leon jadi Leon manggil Mama, gamau Ayah."

Si kecil menolak dengan lucu, pipi bulatnya yang menggembung dan rambut kuningnya yang mentereng bergerak seiring dengan kepalanya yang menggeleng. Dengan gemas Dika mencubit pipinya, tertawa begitu Leon mulai menangis.

"MAMAAAAAA."

Teriakan melengking Leon membuat telinga Dika pengang, ia bingung dengan bagaimana ibu Johan menemukan teriakan ultrasonic ini adalah bakat penyanyi. Suara derap langkah tergesa terdengar sebelum seseorang melongok dari pintu dapur.

Dika tersenyum kikuk, kejadian ketika ia remaja berputar di kepalanya seperti memori indah yang tidak akan pernah ia lupa. Masih sama menawannya meskipun waktu membuat umurnya semakin bertambah, senyumnya masih semanis gula, masih mampu membuat detak jantung Dika bertalu.

"Dika kapan datengnya kok ga bilang bilang."

Cara berjalannya pun masih sama. Cara berbicaranya masih sama. Dika benar benar dihantui oleh cinta pertamanya hingga di titik seharusnya ia melangkah mundur karena jarak mereka sudah sejauh bumi dan matahari. Tapi memang, cinta pertama susah di lupakan.

Senyumnya kini berubah lebih tulus. Menatap dengan lembut bagaimana Leon segera memeluk kaki jenjang berbalut piyama tersebut. Hatinya runtuh namun bukan karena patah hati, tapi akhirnya ikhlas. Karena cintanya sudah bahagia, ia pun harus bahagia kan?

"Hai Bang Jefri. Lama ga ketemu."

. Tamat .

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang