35. Lukes, Dika dan Jefri?

2K 271 9
                                    

"Lo kapan balik, Dik?"

Dika yang sedang menggenjreng gitar dengan diiringi lagu dari ponselnya menoleh, menatap Wendi yang bersandar di pintu sembari mengunyah krupuk.

"Besok, Teh. Gua mo menikmati pagi hari dengan menjadi penyair cinta."

Kembali menatap ke depan, Dika menggerakkan jemarinya, mengiringi suara merdu dari penyanyi di lagu yang ia putar. Tetes demi tetes embun yang jatuh dari daun daun tanaman hias yang ditempatkan di pot mungil mungil berderet pada pagar menuju ke halaman belakang rumah kakaknya.

"Eleh, lagian apa sih yang bikin lo galau. Kan udah dilamar Lukes juga lagian lo ga bakal jomblo habis ini."

Dika mendengus, pipinya terasa hangat dan panas mengingat lamaran ga romantis sama sekali dan kesannya maksa kapan hari. Menggeleng, Dika meletakkan gitarnya, dah ga mood. Mematikan lagu yang ia putar di ponsel sebelum menghela nafas panjang.

"Gue masih pengen nimba ilmu, sampe sekiranya gue dah sukses kaga minta duit elu , Teh. Nah habis tu gue mo beli rumah sendiri, tetek bengek, apaan dah tuh baru nikah."

Turun dari pendopo yang ia jadikan tempat nongki untuk menjadi lelaki galau sejak jaman sekolah, Dika meluruskan kakinya yang kesemutan sebelum menyisir rambutnya.

"Tapi lo gamau ketemu Jefri dulu, Dik?"

Wendi paham, apa yang membuat adiknya sedikit gloomy dan murung beberapa hari ini setelah pulang ke Jakarta. Mungkin memang Dika sudah move on tapi karena hampir setahun tidak melihat Jefri secara nyata, ia pasti akan oleng sekiranya Dika tahu kalau Jefri bukannya makin jelek malah makin ganteng plus manis. Cinta pertama meskipun sudah lupa akan perasaannya, hatinya tak ayal merasa sedikit perih melihat cinta pertamanya sudah bahagia dan benar benar susah digapai.

"Lah nanti aja." Setelah diam dalam gamang tanpa menjawab, Dika mengendikkan bahunya. Berjalan gontai ke dalam sembari menggaruk garuk kepalanya. "Mau mandi, ada janji ketemuan ma Reno. Katanya mo diajakin reuni." Senyuman lebar khas Dika terpampang di wajahnya, gigi dan gusi cemerlang sebelum ia menghilang di balik pintu kamar mandi.

.

.

.

Memang kadang semesta menghianatinya, Dika memang ga berniat bertemu dengan Lukes setelah lamaran dadakan mereka dipertemukan melalui Reno. Duduk berhimpitan di dalam angkot karena motor Reno mogok dan kebetulan Lukes lagi nongki di bengkel yang sama dengan Reno mereparasi motornya.

"Anjing! Ngapa lo injek kaki gue sih, Ren?"

"Kok gua? Kaki gua yang lo injek nih, tuh si kingkong tanyain."

Dika melotot ke arah Lukes yang lagi santai mesam mesem ke penumpang lainnya. Pria berdarah Jawa dengan sedikit rasa Hongkong itu seperti tak sadar bila ditatap sedemikian rupa oleh Dika bahkan kaki besarnya menginjak dengan lebih intens.

"Lukes."

Panggilnya dengan menggertakan giginya, pedih men. Kakinya seperti digencet gajah. Lukes menoleh padanya, tampak kebingungan sebelum mengangkat kakinya begitu ia menyadari apa yang membuat Dika mengernyit.

"Maaf maaf, Mas. Aku kirain tadi kakinya Mas karpet mobil, pantesan empuk banget."

Dengan cengiran khas yang manis dan berkilau, Lukes seperti anak kecil yang tidak berdosa. Dika mendengus dan memilih memandangi ke jendela belakang angkot. Menyembunyikan detak jantungnya yang berdentum tak wajar.

"Ini mau kemana kah? Kalau boleh sih aku ikutan soalnya gabut."

"Ikut kita aja, Luk. Kebetulan anak anak ngajakin main di lapangan futsal. Badan lu kan gede tuh, bisa ntar jadi kiper."

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang