25. Perihal Rasa

2.4K 371 92
                                    


Malam yang begitu tenang, semilir angin dingin menyapa helaian rambut hitam cepak yang teracak. Rembulan yang mengintip malu malu di antara awan yang menutupinya memandangi sosok pemuda yang setia terjaga. Jemari lincah memainkan senar gitar, memutar lagu pelengkap lara dalam hatinya yang gundah. Diiringi oleh dengungan senandung yang meluncur dari bibirnya yang terkatup, menyanyikan bait demi bait syair sebelum sebuah dering yang cukup kencang dengan denting pengumuman khas kereta membuyarkan acara galau rianya. Suara khas mba mba di pengeras suara stasiun mengisi keheningan malam yang berasal dari ponsel biru yang tergeletak di samping pria tersebut.

"Dimohon untuk Mahardika tampan luar biasa mengangkat telefon-

"SIAPE DAH GANGGUIN ORANG LAGI MERATAP"

Kesalnya berapi api sebelum mengambil ponselnya dan segera menangkat telfon. Siapa coba nelfon jam dua malem? Awas aja kalau penipuan hadiah tunai shope*.

"Kalau mau nipu jangan ke saya ya Mas. Saya masih sekolah belum mapan, melamar pujaan hati aja ga sanggup, mending Mas nipu Bang Johan aja dia kaya."

Tanpa menunggu jawaban agen penipu tersebut, Dika sudah lebih dulu menggerutu berusaha membuat siapapun yang hendak menipunya tau dia hanyalah sobat ambyar yang masih SMA.

"Ngapa lu umpanin gue ke penipu, Dik!"

Dika segera menjauhkan ponselnya dari telinga begitu suara menggelegar Johan lah yang menjawabnya. Mengerjap dengan bodohnya menatap layar ponselnya yang bertuliskan "Tiang bendera" sebelum menempelkannya kembali ke telinga.

"Ya maap maap aja ni, lu nelfon dini hari ya pantes lah gue kira penipu online. Lu ga tau gimana sedihnya gue udah seneng banget dikasih tau menang duit 75juta ternyata gue dikibulin Bang-

"Gue nelfon lo bukan buat dengerin lo curhat, Dika bolo bolo. Lu lupa ye gue di Amrik. Disono malem disini pagi."

Dika memasang wajah sebal karena curhatan hati pedihnya dipotong dengan sadis oleh Johan. Meletakkan ponselnya lalu menggantinya dengan mode loud speaker, Dika kembali memangku gitarnya, memetik senar dengan tenang. Menatap lurus ke kandang soang Papanya yang terletak di sebrang halaman belakang rumahnya. Lagu yang sempat tertunda ia lanjutkan sembari mendengarkan Johan yang grasak grusuk di sebrang sana.

"Lu mau nanya ape dah Bang lama amat gue mo ngegalau lagi, ga fokus gue kalau di ganggu." Keluhnya begitu Johan tak kunjung menyahut, terdengar seperti gerutuan Johan sebelum suaranya kembali menyambut.

"Gimana sama Tante Dewi?"

Jemari Dika yang hendak memetik senar seketika berhenti, alisnya bertaut sebelum ia kembali menggenjreng.

"Lancar kok, cuman Bang beliau masih belum restuin kalian karena cowo sama cowo disini masih sangat tabu. Gue agak kaget waktu Tante Dewi ngasih tau hal lain yang bikin dia sangat sangat sangat kekeuh gamau Jefri di lamar lu."

"Apa Dik?"

Dika tersenyum, menatap sang rembulan di atas sana. Tangannya tetap terampil memainkan senar gitarnya, mewarnai suasana hening dini hari Dika yang tertunda karena Johan.

"Beliau bilang Bang Jefri istimewa."

Mendengar itu Johan diam, lama sekali ia bahkan tak menyahut dalam sambungan. Dika paham, paham sepenuhnya karena ia yang mendengarkan langsung sangat terkejut.

"Istimewa bukan karna Jefri dukun beranak kan?"

Teh yang disruput Dika hampir menyembur mendengar Johan menyahuti secara tiba tiba. Matanya melotot menatap ponselnya seolah bisa dirasakan Johan. Kok bisa ini orang mikirnya sampe ke sono?

Larung Asmara 🌟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang