16. Senyuman

96 14 103
                                    

16. Senyuman

Nanti lo juga tahu sendiri jawabannya.

Dahi Nesya perlahan berkerut, mengingat ucapan Rifan sepulang sekolah tadi. Apa maksud dari kata-katanya itu? Sampai kapan Nesya harus menunggu jawaban itu tiba?

Nesya merobek bil dari mesin monitor. Kemudian menyerahkannya kepada sang pembeli, tak lupa dengan barang belanjaannya. "Kembaliannya 6 ribu 7 ratus, ada lagi?" tanya Nesya yang di balas gelengan oleh sang pembeli.

Setelah suasana Supermarket mulai sepi, Nesya merenggangkan tubuhnya. Ah, ia lelah sekali hari ini. Bukan hanya karena sibuk dengan uang receh dan mesin kasir. Namun, ucapan Rifan sore tadi juga berhasil membuat pikirannya terkuras.

Hari ini udah 2 kali gue nolongin lo. Bentar lagi otw yang ke 3.

Nesya mengernyit.

Jangan anggap ini gratis. Besok gue minta bayaran. Bye.

Nesya menggerang kesal. Ia menghembuskan napas frustasi seraya mengambil paksa totebag di bawah meja kasir. Kemudian Nesya beralih mengeluarkan makanan yang ada di dalam totebag tersebut.

Ditiliknya makanan dari Rifan. Wadah bekal yang transparan memudahkannya untuk melihat lauk pauk apa saja yang ada di dalamnya.

"Ish, ada ayam-nya lagi," desis Nesya ketika melihat penampakan sepotong ayam yang sudah tercampur dengan lauk lainnya.

Nesya mencibir. Ia kembali memasukan makanan tersebut ke dalam totebag dengan kesal. Hal itu menarik perhatian Mbak Yeni untuk menoleh.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Mbak Yeni yang menatap Nesya dengan raut bingung.

Nesya menoleh. "Nggak pa-pa, Mbak. Cuma lagi cape aja." cape pikiran maksudnya. Lanjut Nesya dalam hati dengan kesal.

"Yaudah ini, udah jam 9. Tutup, yuk," ajak Mbak Yeni yang sudah membereskan barangnya.

"Yuk." Nesya menyusul. Di angkatnya ransel ungu muda ke atas punggung. Kemudian melirik totebag pemberian Rifan sore tadi dengan sinis. Namun tak lantas mengambilnya juga untuk ia tenteng.

Setelah selesai menggembok troli hijau supermarket, Mbak Yeni dan Nesya berpamitan singkat guna memberi salam perpisahan.

"Hati-hati, Mbak." Mbak Yeni mengangguk seraya melajukan motor matic hitamnya.

Nesya menghela napas. Jakil lagi, deh, pikirnya.  Mencoba menerima nasib nya, Nesya mulai berjalan pulang menuju rumahnya.

Di sepanjang jalan, ia habiskan dengan bernyanyi lagu kesukaannya, bahkan lagu iklan kesukaan pun ia nyanyikan, sanking gabutnya. Namun, memang pada dasarnya rasa gabut tidak mungkin hilang secepat itu.

Disini, dijarak 100 meter dari tempat kerjanya, Nesya berhenti. Bukan, bukan karena kakinya tak sanggup melangkah seperti waktu itu. Tapi karena matanya menangkap seorang Kakek tua yang sedang sibuk bergulad dengan tong sampah di dekat halte bus.

Nesya meringis, melihat penampilan kucel Kakek-Kakek itu. Sedang apa dia? Kenapa tangannya sibuk mengobrak-abrik tong sampah? Apa Kakek ini tunawisma?

Pertanyaan Nesya terjawab ketika Kakek-Kakek itu mendongak dengan mata berbinar. Ia mengangkat tangannya menunjukan sepotong roti yang terbungkus plastik transparan. Pembungkus itu telah koyak, kelihatannya bekas makanan seseorang. Dengan tak sabaran Kakek yang Nesya yakini tunawisma ini melahap rakus potongan roti bekas itu kedalam mulutnya.

Melihat itu, Nesya mendelik. Ia buru-buru mendekat guna melarang Kakek tunawisma itu memakan makanan tak layak.

"Eh Kakek! Jangan!" Nesya merebut paksa makanan—sampah—itu dari tangan Kakek.

Bunga Tidur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang