44. Mengakhiri semuanya

35 6 0
                                    

44. Mengakhiri semuanya

"Bukan, Nek. Tapi Mamanya Rifan kecelakaan di situ, 'kan?"

Deg

Sedetik setelah itu raut wajah Puspa berubah drastis. Ia menatap Nesya dengan tatapan yang mulai mengeras dan menajam. Tak seperti yang beberapa waktu lalu ia layangkan. Tatapan gembira dari mata sayunya itu benar-benar lenyap tertelan keterkejutannya sendiri.

"Dari mana kamu tau?"

Nesya yang sedikit merasa kurang nyaman dengan ekspresi Nenek, memilih menundukkan tatapannya. Ia memilin ujung sweater biru mudanya seraya menyusun kalimat yang pas untuk memulai pembahasan 'tentang Nenek'.

"Nek." Nesya mulai mengangkat matanya. "Mohon maaf sebelumnya. Aku nggak bermaksud buat mengganggu privasi keluarga Nenek. Tapi Nenek harus segera mengungkap kebenarannya. Nenek nggak bisa sembunyi terus. Bukan hanya Papa Rifan dan juga Rifan yang jadi korban. Tapi batin Nenek juga," jelas Nesya.

Puspa semakin dibuat kelu. Kata-kata sanggahan yang mestinya ia ucapkan seketika buyar mendengar Nesya berbicara pasal kebohongannya. Tapi untuk mengaku di depan anak yang baru saja ia temui, bukanlah hal yang tepat. Dengan yang notabene cucunya saja, ia enggan memberi tahu kebenarannya bagaimana dengan gadis yang baru saja menjadi kekasih dari cucunya ini. Dia tak punya hak atas apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan untuk sekadar tahu saja gadis itu tak berhak.

"Kamu ini ngomong apa, sih. Ngawur," Puspa membenahi syal rajutannya di leher. Ia menatap vas bunga mawarnya dengan gelisah. Sepintas, ia teringat bagaimana gambaran jika anak dan cucunya tahu yang sebenarnya. Membuat kulit di keningnya yang sudah kendur, semakin jelas menampakkan kerutannya.

Nesya masih bertahan di samping Nenek. Ia mengatur suhu tubuhnya agar tak terbawa suasana yang kini mendingin. Nenek pasti tak suka dengan apa yang akan Nesya ucapkan setelah ini. Tapi Nesya mecoba mengkesampingkan hal itu. Ada hal yang lebih penting sekarang.

Yaitu, keluarga Rifan.

"Nek." Nesya menarik napas sejenak. "Nanti malam Papa Rifan akan ke sini. Aku mohon kasih tau yang sebenarnya sama Papa Rifan. Dia juga berhak tau atas kematian istrinya 8 tahun lalu. Setiap malam dia tersiksa, Nek. Hal itu yang membuat sisi kerasnya terbangun. Dan korban adalah Rifan. Cucu Nenek sendiri--"

"Cukup!" Puspa sudah tak tahan. Ia memotong dengan tegas membuat Nesya sedikit tersentak. Ia berhenti bicara, ia memilih untuk sejenak bungkam. Nesya sadar ini bukan haknya. Posisinya di sini hanyalah kekasih Rifan, dan Nesya sadar akan hal itu.

"Apa-apaan kamu ini. Kamu itu nggak tau apa-apa tentang keluarga saya." Nesya menatap Nenek menentang kuat ucapan beliau barusan. Ia tahu semua tentang keluarganya.

"Kamu cuma pacar Rifan yang sok tau--"

"Aku tahu dari mimpi aku, Nek." Nesya tak bisa memendam fakta ini lagi. Ia tak mau dicap gadis kurang ajar yang sok tahu perkara keluarga pacarnya. Biarlah kenyataan ini terkuak ke permukaan. Tak ada waktu untuk mengelak dan menyanggah. Itu hanya membuat keadaan semakin runyam.

"Ini emang sulit dipercaya, tapi aku nggak mau nyawa Nenek yang jadi korbannya. Rifan nggak mau kehilangan, Nenek," lanjut Nesya mencoba menyentuh Nenek.

"Dari mana kamu tahu itu?" Pandangan Puspa meredup. "Dia bakal benci sama saya kalau saya ungkap semuanya. Begitu juga dengan Arwan dia bakal benci sama saya. Lalu apa bedanya mati terbunuh dengan mati dibenci keluarga sendiri. Rasanya sama-sama menyakitkan, Nak," ujarnya menerawang ketakutan-ketakutan yang selama ini menghantuinya.

Nesya dapat menangkap ketakutan itu dari dalam diri Nenek. Hatinya benar-benar teriris melihat sosok rapuh Nenek. Di usia yang seharusnya tengah menikmati masa tua dengan sanak keluarga penuh rasa bahagia. Justru malah dihantui dan disiksa dengan rasa takutnya. Bahkan berbohong pun sama saja membunuh diri secara perlahan baginya.

Bunga Tidur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang