54. They're done

32 4 0
                                    

54. They're done

Nesya menatap sebotol minuman dingin yang baru saja diletakkan oleh pelanggan di depannya. Melihat itu Nesya dengan reflek meraih botol minuman dingin tersebut. "Ini aja, Mas?" Tenggorokan Nesya sontak tercekat ketika ia tahu siapa pelanggan di depannya.

"Iya," jawab Rifan datar.

Dengan pupil mata yang membesar akibat terkejut, Nesya melupakan niatnya yang ingin meng-scan minuman yang Rifan beli.

"Rifan?" Mendengar nada kaget dari ucapan Nesya membuat Rifan menatap gadis itu dengan tatapan yang kian mendalam.

"Lo baik-baik aja, 'kan? Lo nggak jadi jalan sama Tyas, 'kan, hari ini?" tanya Nesya beruntun.

Rifan dapat melihat kekhawatiran dalam tatapan Nesya kali ini. Ia tahu, Nesya tak mungkin berbohong dengannya siang tadi. Namun, kenapa gadis ini masih saja peduli? Rifan masih tak bisa menerima alasan atas kepeduliannya itu. Rifan tak mau dikhawatirkan hanya karena kewajiban Nesya untuk menolong siapa pun yang ada di mimpinya. Rifan mau Nesya khawatir tulus dalam hati cewek itu.

"Kenapa lo peduli?" Suara Rifan terdengar datar.

"Semalam, gue mimpi lo sama Tyas--"

"Kenapa lo peduli? Itu pertanyaan yang harus lo jawab," sela Rifan membuat Nesya langsung terdiam.

Agak lengang setelah itu, karena memang suasana bigmarket cukup sepi. Mbak Yeni sedang pergi sebentar membeli makanan. Hal itu membuat suara dan tatapan datar Rifan terpampang begitu jelas.

"Fan, kita ini cuma mutusin hubungan. Bukan berarti setelah ini kita nggak bisa jadi teman--"

Lagi-lagi ucapan Nesya disela oleh Rifan, "Jangan pernah sok peduli sama gue kalau hanya untuk bantu gue, Nes. Gue bisa jaga diri gue sendiri tanpa bantuan lo." Kemudian Rifan mendorong menumannya. "Buruan," pinta Rifan agar dirinya cepat-cepat keluar dari sini.

Nesya pun hanya menurut, ia mengambil botol yang sedikit berair karena terbiarkan cukup lama dan kemudian meng-scannya.

"Berapa?" ujar Rifan seraya meraih minumannya.

"Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa, Fan."

Bukannya mendapat jawaban atas pertanyaannya. Rifan justru dibuat berkelana dengan awal pertemuan mereka. Masa di mana, dia masih cuek dan tak peduli dengan gadis ini. Seharusnya memang seperti itu, seharusnya dulu ia tak usah mencoba sedikit menerima.

"Itu perkataan yang sama waktu lo mulai berhasil ngambil perhatian gue. Gue akui itu kesalahan terbesar gue. Tapi jangan harap, kesalahan itu akan gue ulangi untuk yang kedua kalinya, ya, Nes. Jatuh ke lubang yang sama bukanlah prinsip gue."

Nesya mendengar itu dengan perasaan yang remuk. Rifan sudah benar-benar tak ingin berurusan lagi dengannya. Tapi bukankah itu kabar baik? Bukankah itu tujuan Nesya?

Dengan sembarang Rifan mengeluarkan uang selembar berwarna biru dan meletakkannya tepat di meja depan Nesya. Ia tak mau tahu berapa kembalian yang seharusnya menjadi miliknya. Rifan ingin cepat-cepat pergi dari sini sekarang juga.

"Dan ingat," Rifan berbalik lagi setelah sebelumnya hendak pergi, "perasaan gue bukan untuk dimainin seperti ini. Jangan tarik-ulur harapan yang berusaha gue hilangkan. Jangan tanam benih cinta itu lagi, Nes. Biarkan gue dengan mimpi gue, dan lo dengan mimpi lo. We're done. Seperti yang lo bilang malam itu."

Kemudian semuanya benar-benar lenyap. Rifan pergi dengan pasti. Ucapannya tadi sudah memperjelas semuanya kalau Rifan tak ingin lagi berurusan dengan dirinya. Dan Nesya pun tak bisa berbuat apa pun lagi. Nesya hanya bisa menerima jalan yang sudah ia ambil ini, juga menjalaninya dengan ikhlas meski rasanya sakit.

"Oke, Fan. Setelah ini gue janji akan menjauh dari lo sejauh-jauhnya." Sebentar, lalu Nesya kembali melanjutkan monolognya, "Meski perasaan ini udah jatuh sejatuh-jatuhnya sama lo. Tapi gue gak papa. Yang penting lo baik-baik aja."

Nesya menunduk dan mendapati selembar uang lima puluh ribu rupiah. Uang yang belum saja Nesya beri kembaliannya. Itu uang Rifan. Nesya menatapnya lama.

"Karena sekali lagi," Mata Nesya mulai berkaca-kaca, "gue cuma nggak mau lo kenapa-napa, Fan."

Dari kejadian malam itu di tempat Nesya bekerja, Nesya benar-benar membuktikan ucapannya. Ia menjauh dari Rifan. Meski beberapa kali merasa tak sanggup dengan jarak ini. Namun, Nesya tetap berusaha untuk tetap bersembunyi di belakang cowok itu. Beberapa kali Nesya bermimpi tentang Rifan. Yang bisa ia lakukan hanya menyuruh teman terdekat Rifan untuk memberitahu cowok itu. Beberapa kali juga Nesya melihat Rifan tengah bersama Tyas. Yang bisa ia lakukan hanya menatapnya dalam diam. Mencoba tidak memperdulikan rasa perih di hatinya.

Miris bukan?

Semuanya benar-benar berubah. Dan yang paling membuat Nesya merasa terjatuh adalah Rifan yang benar-benar berhasil melupakannya. Secepat itu.

Mencoba untuk ikhlas, dan menganggap hal itu hanya sebagai kisah cinta masa mudanya saja ternyata tak semudah yang ia kira. Benar, hal yang paling susah dari sebuah akhir adalah mengikhlaskan dan melupakan kenangan yang ada. Karena nyatanya, goresan akan tetap meninggalkan bekas, mau bagaimanapun caramu menghapusnya.

Ingin rasanya Nesya berhenti. Tapi, apakah semuanya akan usai hanya dengan dirinya memilih untuk pergi? Lari dari masalah bukanlah jalan yang baik. Dan Nesya selalu mengingat itu setiap kali merasa letih.

Namun, kenapa takdir benar-benar mempermainkannya dengan hebat. Sudah berusaha menjauh, tapi selalu didekatkan. Seperti kejadian siang itu di lapangan basket. Nesya dan sahabat-sahabatnya tengah berjalan santai di running track, melihat para siswa yang tengah berlomba memasuki bola oranye itu ke dalam ring.

Siapa yang menyangka jika tiba-tiba saja bola basket tersebut keluar dari lapangannya. Membuat Nesya dan kawan-kawan sontak melotot karena arah sasaran bola tersebut adalah ke arah mereka.

Posisi Nesya saat itu sangat tidak pas sekali. Karena bola benar-benar tepat mengarah kepadanya. Teman-teman yang lain sudah pada menyingkir dan cuma Nesya yang masih loading dengan keadaan. Beruntung di detik-detik terakhir seseorang menariknya dari belakang.

Nesya terseret cukup jauh, dan beruntung bola basket itu tak berhasil mencium kepalanya. Dengan kaget Nesya menoleh pada seseorang yang berbaik hati tersebut. Tingkat keterkejutan Nesya meningkat ketika ia lihat Rifanlah yang menolongnya.

Sudah hampir 4 bulan tak berkomunikasi, tiba-tiba Rifan yang baru saja menolongnya dari musibah bukanlah hal yang biasa saja bagi Nesya. Ini sangat amat mengejutkan.

Ah, Nesya sangat ingat ucapan Rifan waktu itu.

"Lain kali lebih hati-hati lagi."

Dan Nesya hanya bisa diam seraya menatap Rifan yang pergi dengan debaran hebat di dadanya. Bisakah Nesya bilang bahwa Rifan tengah mengkhawatirkannya barusan? Oh, ayolah, Nesya tidak bisa menahan dirinya untuk tak berbahagia waktu itu. Meski besoknya tak ada yang berubah dari hubungannya dengan Rifan. Namun, ia sangat senang karena itu berarti Rifan masih menganggapnya ada.

Tepat satu minggu setelah kejadian yang tak mungkin Nesya lupakan itu. Nesya bermimpi buku tugas Rifan tertinggal di perpustakaan. Dengan riang Nesya berlari kecil ke arah ruangan berbuku itu, dan mengambil buku tugas Rifan.

Sampai Nesya di parkiran langkah riangnya berangsur memelan melihat Rifan dan Tyas berinteraksi. Ini bukanlah pemandangan yang asing baginya. Namun, saat panggilan Tyas untuk Rifan terdengar di telinga Nesya. Seketika harapan--yang entah kapan Neysa bangun--itu hancur, lagi.

"Sayang, jadi, 'kan ke rumah Nenek kamu?" kata Tyas waktu itu seraya tersenyum.

Dada Nesya seketika sesak. Bahkan waktu mereka berpacaran belum ada panggilan semanis itu yang terlontar dari bibirnya. Nesya iri? Jelas. Nesya cemburu? Jelas.

Tapi dia bisa apa?

Dengan raut yang dibuat seikhlas mungkin, gadis itu menghampiri Tyas dan Rifan. Kemudian memberikan buku tugas Rifan kepada pemiliknya. Hanya sebentar, setelah Rifan berujar "thanks, ya," Nesya berbalik dan kemudian pergi.

Hanya itu. Karena keesokan harinya bahkan hingga di hari-hari berikutnya, Nesya dan Rifan benar-benar selesai.

🌾🌾🌾

1192 kata

Bunga Tidur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang