10. Disalah artikan

149 16 231
                                    

10. Disalahartikan

"Jadi bener Nes, cowok yang di mimpi gak jelas lo sebulan lalu, sama dengan cowok yang nyium lo di mimpi waktu itu?"

Nesya mencibir setelah mendengar pertanyaan Fadi. "Bisa nggak sih lo nyebut 'si cowok' itu dengan sebutan nama. Namanya Rifan." Nesya mengingatkan.

"Iya-iya, Rifan maksudnya." Fadi meralat.

Nesya menghela napas. Rasanya ia menyesal telah bercerita panjang lebar kepada keempat manusia di depannya ini. Nesya jadi tak yakin menyebut mereka manusia.

Pasalnya bel pulang sekolah telah berbunyi dari 15 menit yang lalu, tapi ia masih saja dikurung dalam kelas bercat dominan biru ini, untuk kembali menjelaskan tentang mimpinya. Hah ... Waktu Nesya terbuang sia-sia sekarang.

"Ya ... seperti yang gue ceritain tadi. Mereka memang orang yang sama." Nesya menjawab tanpa semangat.

"Kok, lo, nggak pernah bilang sih kalau lo kerja di Bigmarket sekarang?" Wajah Meli terlihat masam karena sudah 2 hari ini, Nesya merahasiakan banyak hal darinya.

Nesya memang sudah menceritakan semuanya pada mereka. Salah satunya, mengenai pekerjaan Nesya sekarang.

Nesya menyengir, merasa bersalah tentunya. "Nggak mau buat kalian khawatir, aja."

"Sorry, ya," lanjut Nesya.

Ada hening sebentar antara mereka, sampai akhirnya Dina bersuara. "Yaudah, lain kali kalau ada apa-apa langsung bilang kitarang aja, Nes," ujar Dina, yang kontan membuat Nesya tersenyum seraya mengangguk.

"Btw, lo udah jelasin terkait mimpi lo sama Rifan, Nes?" Kini Reva yang bertanya, memecah keheningan.

Nesya menoleh pada Reva. "Udah," jawabnya kemudian.

Seketika semua langsung mengerumuni Nesya. Hendak meminta penjelasan lebih detail dari mulut Nesya langsung. Melihat reaksi berlebihan sahabatnya, membuat Nesya kembali menyesal dengan ucapannya tadi.

"Terus-terus? Gimana reaksi Rifan?" tanya Fadi heboh.

"Iya-iya, gimana reaksi nak Kepsek waktu itu? Dia senyum-senyum kah? Terus ... langsung wujudtin mimpi lo waktu itu kah? atau—"

Ucapan Reva terhenti, ketika satu gaplokan mendarat di mulutnya. Itu adalah tangan Fadi.

"Ya nggak gitu juga lah, cimol!" Fadi berseru gemas.

Reva meringis. "Ya, biasa aja, dong ... sakit tau."

Nesya menghela napas. Kapan ia bisa keluar dari sini, dan pergi bekerja dengan cepat?

"Reaksi dia biasa aja. Nggak terlalu berlebihan ...," Nesya berhenti sejenak. Decakan sebal keluar ketika ia hendak melanjutkan ucapannya. "... ck. Tapi gue malah disangka orang gila, sama dia."

Semua mendelik. Satu per satu dari mereka mulai mengeluarkan tawa tertahan, melihat itu Nesya mendengkus. Selaknat inikah teman-temannya?

"Emang, lo, gila sih." Meli mengiyakan sembari terkekeh menahan tawanya. Teman-temannya yang lain pun juga masih menahan tawa. Nesya yakin, tawa mereka sudah meledak-ledak dalam hati.

Nesya yang saat ini tak bisa melakukan pembelaan apapun hanya bisa berkata, "Makasih hinaannya."

"Sama-sama," jawab mereka serempak.

Nesya memutar bola mata. Kenapa ia bisa berteman dengan mereka? Entahlah, sampai saat inipun Nesya belum mengetahui alasannya. Namun yang jelas, Nesya sudah merasa cukup bahagia bisa berteman dengan mereka sekarang.

Bunga Tidur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang