Bab 13

675 106 18
                                    

Jungkook

"Yuna? Apa yang kau lakukan di sini?"

Ia berjalan mendekat dan mengalungkan lengannya ke leherku. "Surprise!" serunya. "Aku berkunjung ke Busan sampai akhir pekan ini!"

Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku dan segera memeluk nya. "Kapan kau sampai?"

"Pagi ini."

"Dan kau baru memberitahuku sekarang?" tanyaku.

"Aku ingin memberimu kejutan. Ngomong-ngomong, kau terlambat," tegurnya.

"Aku bisa pulang lebih awal kalau kau meneleponku," belaku.

"Tidak seru," sahutnya.

"Kenapa kau menunggu di luar? Kau tahu di mana kuncinya, kan?"

"Eh, aku belum lama sampai di sini dan kau tahu bagaimana aku tidak bisa berhadapan dengan segala jenis alarm. Terakhir kali aku mencoba masuk ke rumahmu, polisi datang. Lagi pula, ini hari yang bagus." Ia menyeringai malu-malu saat aku
mengajaknya ke dalam.

Aku membuka jas kerjaku saat ia berjalan ke ruang tengah, melihat sekeliling. Tidak banyak yang
berubah sejak terakhir kali ia ke sini.

"Oh, Tuhan, Oppa! Menggantung satu saja gambar di dinding tidak akan
membunuhmu."

Aku menunjuk ke sebuah lukisan di dinding, lukisan abstrak karya Slazo. "Aku punya lukisan."

"Maksudku, gambar nyata," tekannnya. "Kau tahu—foto orang."

Aku mengangkat bahu. "Kau sudah pulang, belum?"

"Tentu saja sudah. Bibi Jung Hwa menjemputku dari bandara," jawabnya. "Ngomong-ngomong, kau harus datang makan malam. Bibi memasak semua makanan favoritku!" Ia menepuk-nepuk tangannya dan meloncat kegirangan memikirkan masakan Bibi Jung Hwa.

Aku tersenyum melihatnya.
"Aku ganti baju dulu dan kita bisa langsung berangkat ke sana," jawabku sambil berjalan menuju tangga.

Lalu aku tiba-tiba teringat—sial! Aku harus menelepon Lisa. Aku buru-buru mengambil ponsel dari sakuku dan meneleponnya saat memasuki
kamar tidurku.

"Cepat sekali," jawab Lisa langsung.

"Kau sudah sampai di sini?" Aku bisa mambayangkannya melihat keluar jendela, atau mungkin sudah keluar pintu. Ia terdengar bersemangat.

"Sebenarnya, aku tidak bisa datang, Lisa," jawabku cepat.

Anehnya, aku tidak merasa menyesal membatalkan pertemuan kami. Malah rasanya seperti ada beban berat yang diangkat dari bahuku.

"Apa? Kenapa?" Ia tidak mencoba menutupi kekecewaannya.

"Adikku tiba-tiba datang berkunjung. Kami akan makan malam bersama orang tuaku."

"Bagaimana kalau setelahnya?" Suaranya terdengar mendesak. Lisa adalah seorang wanita seksi—biasanya aku akan terangsang mendengar ketidaksabarannya, tapi malam ini pikiranku sedang kacau dan mendengar suaranya hanya membuatku muak.

"Aku tidak tahu, Lisa. Kita lihat saja nanti. Aku tidak tahu jam berapa aku akan pulang."

"Maukah kau meneleponku saat kau sudah selesai makan malam?" tanyanya lagi.

Aku tidak mau repot-repot membuatnya terhibur. "Aku tidak tahu. Mungkin."

Ia merengek untuk terakhir kali sebelum aku mengakhiri percakapan kami dan menutup telepon. Aku cepat-cepat mengganti baju dan keluar kamar.

Lagi-lagi aku dibuat terkejut, Yuna bersandar di dinding di sebelah pintu kamarku, ia menyilangkan lengan nya, ekspresinya masam. Ia menatapku tidak percaya saat aku berdiri di sampingnya.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang