Bab 17

605 103 5
                                    

Jihyo

Minggu adalah hari untuk bermalas-malasan. Aku tidak bisa tidur tadi malam, alhasil aku baru terbangun pukul 11 pagi. Semua itu gara-gara emosi yang kurasakan. Saat aku bangun, aku masih lelah, tapi ini masih bisa diatasi dengan dua cangkir kopi.

Aku sempat bertanya-tanya apa yang akan dipikirkan Jungkook tentang sarapan bergiziku ini,dan kemudian aku memaki diriku sendiri karena memikirkannya. Dia bilang tidak bisa.
Tidak bisa

Berani sekali dia.

Setelah ia mengucapkan itu, aku langsung pergi. Aku berpura-pura itu bukanlah suatu masalah yang besar, dan memaksa suaraku agar tetap tenang, tapi Jungkook menyadarinya.

Dia bilang apa kemarin?

Oh, ya. "Ini rumit, Hyo," dan "Ini semua terlalu cepat untukku." Ia benar-benar menginginkanku untuk memahaminya; ia hanya tidak punya kata yang tepat untuk menjelaskan semua itu.

Aku harap aku tahu apa yang sedang ia pikirkan; perubahan suasana hatinya yang tiba-tiba hanya menjadi cambuk buatku.

Kenapa—kalau ia begitu bersemangatnya untuk memenang kan taruhan ini—tiba-tiba menolak permintaanku? Ia bahkan mengijinkan ku ikut makan malam bersama orang tuanya.

Bukankah itu lebih gawat di bandingkan dengan permintaanku?
Mungkin ia sudah menyerah. Ya, mungkin saja—aku sudah beberapa kali membuatnya kesal. Aku rasa makan malam kemarin adalah puncaknya, sekarang setelah aku memikirkannya kembali, sepertinya aku memang benar.

Dan ia tidak memberi sedikitpun indikasi akan meneleponku lagi. Aku masih merajuk saat mandi. Memikir kan kemungkinan tidak akan pernah lagi bertemu dengannya sedikit membuatku sedih.

Walaupun aku tahu kebenaran tentangnya, aku masih menyukainya. Aku benar-benar menyukainya. Tapi, kenapa?

Sana akan mencambukku kalau ia tahu perasaanku yang sebenarnya. Ia tidak boleh tahu ini. Ia akan memaksa ku untuk berkencanku dengan seorang teknisi komputer di kantor nya.

Siapa namanya? Kai? Ia mungkin akan berbicara ini saat kencan pertama kami, "Sayang, kau membuat floppy disk-ku berubah menjadi hard drive," dan "Bagaimana kalau kita ke
kamarku dan mengerjakan soal matematika: tambahkan tempat tidur, kurangi pakaianmu, bagi kakimu, dan kalikan."

Ya, Sana tidak boleh tahu. Aku belum menghubunginya, ia akan bersikeras menyuruhku membongkar rahasia Jungkook kalau ia tahu Jungkook tidak jadi menemaniku ke pesta pernikahan.

Walaupun terdengar sangat menyedihkan, tapi aku belum siap untuk benar-benar memutuskan hubungan dengannya. Aku harus memikirkan semuanya matang-matang, tapi yang sebenarnya yang kubutuhkan itu adalah ketenangan pikiran.

Aku butuh seharian penuh untuk menjernihkan pikiranku. Aku tahu aku hanya terpesona dengan mata dan tubuhnya. Dan ciumannya yang penuh gairah. Dan godaannya.

Oh, Tuhan, aku sangat merindukan
godaanya... dan ia benar-benar bisa menangani makan malam kemarin dengan baik. Padahal aku sudah mengharapkan Armageddon akan terjadi, atau mungkin tenggelamnya kapal Titanic yang kedua.

Aku mengharapkan bencana. Aku harus mengalihkan perhatianku. Untungnya, aku tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Mina meneleponku saat aku berpakaian—sudah lebih dari seminggu aku belum berbicara dengannya.

"Kau sudah punya gaun untuk ke pesta pernikahanku?" tanyanya padaku. Ia mengenalku dengan cukup baik karena tahu akubelum punya gaun sama sekali.

"Belum... tapi, aku sudah tahu di mana akan membelinya!" ucapku sia-sia. Ia tahu ini semua omong kosong.

"Omong kosong, Jihyo. Bagaimana kalau kita bertemu di Starbucks setengah jam lagi—kita akan mencari gaun untukmu."

Belanja gaun kedengarannya tidak menyenangkan. Bahkan, terdengar seperti penyiksaan, tapi itulah yang kubutuhkan sekarang. Sebuah pengalihan pikiran.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang