Bab 14

677 104 18
                                    

Jihyo

Jungkook tidak meneleponku besoknya. Jujur saja, aku berharap ia bermohon-mohon di kakiku sekarang, tapi aku tidak seberuntung itu. Aku tidak yakin dengan apa yang ada di pikirannya, tapi aku masih sedikit kesal dengannya dan aku tidak mau
repot-repot mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sekarang hari Jumat—akhir pekan—dan walaupun ia sudah bilang akan berkunjung ke Seoul, namun aku belum mendengar kabar darinya. Dan ini tidak luput dari perhatianku. Aku tidak tahu apa ia benar-benar akan datang atau tidak. Mungkin ia sudah
muak denganku... mungkin ia sudah menyerah.

Tapi, aku belum selesai dengannya. Belum, sama sekali—nuraniku cekikikan tanpa henti. Malam ini aku akan bersenang-senang. Aku akan mendapat sekilas kisah kehidupan Jungkook dari adiknya sendiri.

Kalau aku beruntung, aku akan mendapat banyak informasi tentangnya. Aku menerima pesan setelah makan siang, dan aku malu sendiri karena berharap pesan itu dari Jungkook.

Dengan cemberut, aku mengecek layar ponsel—ini dari Bangchan.

~~

Bangchan
Sana bilang padaku, Jungkook kembali bersikap bajingan. Aku minta maaf. 

Isi pesannya terdengar tulus, tidak seperti Bangchan yang biasa. Dengan penasaran, aku membalas:

Jihyo
Aku tidak pernah mengharapkannya bersikap lebih baik.

Bangchan
Dia benar-benar orang baik, hanya sedikit... keterbelakangan mental kalau berurusan dengan masalah pergaulan.

Aku tersenyum membacanya. Sebelum aku bisa menanggapi, Bangchan sudah kembali mengirim pesan:

Bangchan
Aku rasa kau cocok dengannya. Aku pikir dia sudah mulai merasa sedikit bersalah.

Jihyo
Bagus kalau begitu, memang seharusnya dia merasa bersalah.

Bangchan tidak membalasnya. Aku tidak yakin apa ia sibuk atau lupa dengan percakapan kami, tapi aku tidak terlalu memikirkannya.
Pikiranku terfokus pada pertemuan ku dengan Yuna malam ini. Aku agak cemas, tapi aku tidak tahu kenapa.

Aku segera pulang setelah selesai bekerja dan bersiap-siap. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk berdandan; rambutku tergerai lurus, aku mengenakan celana jins ketat dan sepatu hak tinggi dengan blus longgar.

Aku menikmati makanan cepat saji di
perjalanan. Setelah sampai di Busan, aku menelepon Yuna dan meminta nya untuk memberi petunjuk arah menuju klub yang ia maksud.

Ia sudah sampai di sana, sepertinya sudah tidak sabar ingin bertemu denganku. Saat jarakku semakin dekat, sarafku menegang sepuluh kali lipat. Perutku berpilin.

Sekarang masih pukul setengah delapan malam, tapi tempat ini sudah penuh. Sepertinya ini adalah klub favorit di Busan. Aku berjalan melewati tubuh-tubuh yang berkeringat, musik yang menggelegar dan lampu remang-remang.

Sulit untuk membuat jalan, dan meskipun Yuna sudah mengatakan ia mengenakan gaun biru dan berada di dekat bar, aku mulai khawatir tidak akan menemukannya.

Tapi ketakutanku segera mereda; aku melihat seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut panjang gelap sedang menyesap minuman bewarna-warni.

Ia bersandar ke meja bar dan sepertinya ia juga mencari-cari seseorang. Matanya bertemu denganku dan untuk sesaat kami saling berpandangan, tak satu pun dari kami bereaksi. Tapi, gaunnya memberitahuku gadis ini adalah dia,
dan aku melangkah mendekat. Ia tersenyum saat jarak kami semakin dekat.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang