Bab 19

584 99 21
                                    

Jungkook

Entah bagaimana caranya aku masih bisa berfungsi setelah tidur di sofa bersama Jihyo dan harus menghadiri rapat jam setengah sepuluh pagi. Aku masih tidak paham dengan semua hal yang terjadi.

Aku tidak lelah saat memutuskan untuk singgah ke apartemen Jihyo—tidak sama sekali, tubuhku terjaga dan aku sangat gugup bahkan telapak tanganku sampai berkeringat, aku takut Jihyo akan menghindariku dan menolak untuk menemuiku selamanya.

Aku tidak pernah memikirkan semua hal itu sebelumnya. Tidak ada gadis yang pernah kupikirkan sebelum ini.
Tapi, Jihyo—entah apa alasannya—sudah menjadi gadis terpenting dalam hidupku.

Aku memaksakan diri untuk terfokus pada materi rapat. Aku memaksakan pikiranku untuk melupakan—walaupun hanya sesaat—semua kekhawatiran yang telah melanda hidupku selama seminggu terakhir ini.

Tapi, saat orang lain sedang berbicara dalam rapat, pikiranku kembali tertuju pada Jihyo. Aku membayang kan bagaimana semua situasi ini akan berbeda seandainya aku tidak mengunjungi klub malam itu. Seandai nya aku tidak pernah bertemu dengan Yugyeom.

Aku pasti tidak akan tahu dengan Jihyo. Aku tidak akan mengenalnya dan aku tidak akan mencampuri kehidupannya dengan cara paling kurang ajar seperti ini. Semuanya akan menjadi lebih baik bagi Jihyo.

Dan kemudian aku juga berpikir tentang bagaimana kalau seandainya aku mengajaknya berkencan dalam kondisi normal. Kami akan berkencan dengan normal dan percakapan yang terjadi akan berlangsung dengan normal tanpa ada perasaan bersalah
dan takut di benakku.

Tapi, itu tidak penting lagi. Membayang kan alternatif skenario seperti itu tidak akan mengubah apa pun. Hari ini penuh dengan rapat. Menghadapi kenyataan ini saja sudah berhasil membuat suasana hatiku menjadi pahit, karena aku sangat membenci rapat.

Aku mencoba, sekali lagi, untuk mendorong Jihyo keluar dari pikiranku agar bisa bekerja dengan
tenang. Tapi, sekali lagi, aku tidak berhasil melakukannya.

Aku tidak punya waktu untuk pergi keluar makan siang. Aku bahkan hampir melupakan makan siangku saat asistenku, Eunha, memasuki ruangan dengan membawa bento yang dibelinya dari toko lokal dan secangkir kopi.

Dia tiba-tiba masuk dan meletakan nya di mejaku. "Aku pikir Anda mungkin ingin makan sesuatu," ucapnya dengan baik hati.

"Tidak baik melewatkan makan siang, Tuan Jeon. Apa Anda sarapan tadi pagi?" Dia ingin mengobrol, tapi sayangnya aku tidak punya waktu untuk itu.

Sambil senyum, aku mengangguk.
"Ya, Eunha-ssi." Kalau kau bisa menyebut kopi sebagai sarapan.

"Terima kasih."

Dia mengerti ucapanku yang menyiratkannya untuk segera keluar dan sambil tersenyum kecil, dia berjalan keluar dan menutup pintu di belakangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia mengerti ucapanku yang menyiratkannya untuk segera keluar dan sambil tersenyum kecil, dia berjalan keluar dan menutup
pintu di belakangnya.

Perutku keroncongan, protes, tapi aku ingin menyelesaikan sedikit lagi pekerjaanku sebelum berhenti sejenak untuk makan.

Ponselku bergetar tanpa henti di saku, tetapi aku mengabaikannya.
Aku menyesap kopi sambil bekerja. Dua puluh menit kemudian, aku menarik bento ke arahku sambil mengambil ponsel dari saku.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang