Bab 20

700 96 8
                                    

Jihyo

Minghao memegang sebuket bunga anggrek dan lili di tangan kanannya. Aku dulu pernah mengatakan pada nya kalau anggrek adalah bunga favoritku, dan aku kaget dia masih ingat.

Tapi sekarang, dia hampir menghancur bunga-bunga itu di dalam genggamannya.

Aku terus menjaga nada suaraku agar tetap tenang. "Minghao, apa yang kau lakukan di sini?"

Dia mengalihkan tatapannya ke arahku. "Tentu saja untuk menemui mu. Tapi, aku rasa aku datang di saat yang tidak tepat." Jungkook mengerutkan kening dan menundu kan kepalanya. Semuanya kacau.

"Boleh aku bicara denganmu di luar?" desisku pada Minghao.

"Apa kau tidak akan memperkenal kan kami?" tanyanya balik, dan aku ingin mati mendengar ucapannya.

Tapi, Jungkook menatapku penuh harap dan aku merasa dikeroyok.
Aku memelototi Minghao. "Jungkook, ini Minghao. Temanku. Minghao, ini Jungkook."

Mereka tidak berjabat tangan atau pun saling menyapa. Mereka sama sekali tidak peduli.

"Boleh aku meletakan ini di lemari es?" Minghao mengangkat botol anggurnya, dan kemudian langsung berjalan melewatiku sebelum aku bisa menjawab. "Anggur ini harus didinginkan. Perjalananku panjang untuk sampai ke sini, aku rasa anggurnya sudah hangat—"

Jungkook terlihat tidak nyaman. Aku yakin warna wajahku sudah sama dengan warna jaket merah gelap Minghao.

"Minghao? Di luar?" selaku, kembali mencoba bicara.

"Aku bisa pulang sekarang," ucap Jungkook tiba-tiba. Minghao terlihat puas.

"Tidak, aku mohon jangan pulang dulu." Kali ini, aku tidak bisa lagi menjaga nada suaraku. Aku benar-benar terganggu sekarang.

"Minghao? Di luar?"

Minghao dengan enggan mengangguk dan melangkah ke luar pintu. Mata Jungkook menatap mataku sepersekian detik saat aku berjalan melewatinya, tapi aku tidak bisa menangkap emosi yang terkandung di dalamnya.

Suasana di lorong sangat sepi. Aku hanya bisa mendengar suara degup jantungku sendiri dan adrenalin yang mengalir gara-gara ini. Pembungkus buket bunga bergemerisik saat Minghao menjatuhkan lengannya ke samping.

Aku memelankan suaraku, tidak ingin mengganggu tetangga.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku lagi.

Minghao mendongak menatapku, dia kaget. "Aku ingin memberimu kejutan," gumamnya.

Ya, aku tahu itu. Tapi, aku masih jengkel.

"Sebaiknya kau meneleponku dulu. Aku sedang ada tamu, Minghao." Aku mengucapkan ini dengan putus asa sambil berharap agar dia mengerti kalau aku benar-benar terusik dengan kedatangannya.

Matanya berkedip saat menatapku. "Ya, aku sudah mendengar tentangnya."

Aku terkesiap. Sialan. Apa dia tahu tentang taruhan itu?

Ucapanku berikutnya terdengar rendah namun mengancam. "Apa yang kau bicarakan?" Kalau dia tahu tentang taruhan itu, aku harus membunuhnya di sini, di lorong ini.

Dan tak satu pun dari kami menginginkan itu. Dia mulai berjalan bolak-balik dengan gelisah. "Aku bicara dengan Sana."

Aku kembali terkesiap.

Oh, Tuhan. Tolong ampuni dosa temanku itu, karena dia akan mati.

Aku langsung panik. Aku tidak pernah merasa sangat... dikhianati oleh sahabatku sendiri. Menceritakan taruhan pada Bangchan sudah membuatku gila. Menceritakannya pada Minghao membuatku ingin meledak.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang