Bab 16

694 100 31
                                    

Jungkook

Aku berkedip menatap Yuna, sepertinya aku salah dengar. "Kau apa?"

"Aku mengundang Jihyo untuk ikut makan malam. Aku sebentar lagi akan kembali ke Jepang dan aku ingin lebih mengenal Jihyo sebelum pergi. Aku membawa beberapa potong pakaian agar Jihyo tidak perlu pulang ke Seoul untuk menggantinya," ucap
Yuna seolah-olah topik percakapan ini adalah hal yang paling lazim di dunia.

Aku menatap Jihyo, ia balik menatapku, matanya melebar waspada. "Benar, kan, Hyo?" tanya Yuna meyakinkan. Ini hanya membuat Jihyo semakin waspada.

"Um, yeah," gumamnya. Ia kembali menatapku. "Maaf, aku benar-benar lupa mengatakannya padamu..."

"Oh, jangan meminta maaf," sela Yuna. Aku terperanjat, tidak percaya ini benar-benar terjadi. Apa gadis-gadis ini bersekongkol
melawanku?

"Kau tidak keberatan, kan, Kookie?" tanya Jihyo ragu-ragu.

Apa yang akan kukatakan padanya? Tentu saja aku keberatan, Jihyo. Kau ikut makan malam bersama keluarga ku adalah hal terburuk yang bisa ku pikirkan. Kecuali sebuah taruhan kecil yang mungkin lupa ku beritahukan padamu...

Ya, kalau aku mengatakan itu semuanya akan baik-baik saja—pikirku sinis. Aku menarik-narik rambutku, aku yakin gadis ini akan membuatku botak sebentar lagi. Yuna kembali berbicara sebelum aku bisa menanggapi.

"Oppa tidak akan keberatan," ia melihatku dan Jihyo secara bergantian.

"Aku tidak keberatan," jawabku. Jihyo tidak terlihat yakin.

"Apa kau yakin?" tanyanya.

"Ya," ucapku cepat. "Tentu saja kau boleh ikut."

Aku memutar ulang ucapanku sendiri di kepalaku, berharap agar perkataan ku dapat meyakinkanku. Berharap agar perkataanku menjadi kenyataan. Tapi, aku keberatan. Aku tidak pernah membawa seorang gadis pun pulang untuk bertemu Bibi Jung Hwa dan Paman Kyu Rok.

Jihyo, dia seorang gadis yang menakjubkan—aku tidak bisa memikirkan gadis lain yang lebih baik untuk dibawa pulang selain
dia—tapi, aku baru mengenalnya seminggu. Dan aku tidak berbicara tentang apa yang bakal terjadi kalau ia sampai tahu tentang kebenaran hubungan kami.

Oh, Tuhan, aku butuh alkohol—hidupku sudah berubah menjadi opera sabun.

Yuna berbalik ke arah Jihyo. "Ayo, kita ganti pakaianmu agar aku bisa memastikan semuanya cocok." Jihyo menatapku lagi, tatapannya masih waspada, dan aku memaksakan diri untuk tersenyum.

Mereka berjalan menaiki tangga, Yuna berceloteh riang tentang salah satu gaun yang dibawanya. Saat aku mendengar pintu di lantai atas tertutup, aku langsung menghela napas keras.

Aku ingin menelepon Bangchan, tapi aku sudah tahu apa yang akan ia katakan: "Apa masalahnya? Kau jelas menyukai Jihyo. Sudah waktunya kau membawa seorang gadis untuk makan malam bersama keluargamu... aku yakin keluargamu sudah menganggap kalau kau ini gay."

Bangchan tidak pernah suka dengan tindakanku. Ia mengasihi wanita, menghargai mereka, tidak pernah menunjukkan rasa tidak hormat secara terang-terangan.

Sampai saat ini, aku pikir aku selalu mengikuti tindakan Bangchan—walaupun banyak yang tidak setuju itu. Aku tidak pernah memaksa siapa pun untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Aku tidak pernah menekan Jihyo...

Tapi, aku berbohong padanya. Aku berbohong dan mengatakan hal-hal yang ingin ia dengar, hal-hal yang membuat wajahnya memerah. Aku akan mengatakan hal-hal yang membuatnya menginginkan lebih dari apa yang kutawarkan... Dan itu sama saja dengan tidak menghargainya.

A Betting Man ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang