Chapter 6: Why

219 44 39
                                    

🌻

Mino melepaskan blindfold dan menoleh ke jendela kanannya yang memperlihatkan kota Paris di siang hari. Pesawat yang ditumpanginya selama 11 jam itu sebentar lagi akan mendarat di bandara Charles de Gaulle.

Di penerbangan first class-nya kali ini, Mino sibuk menggambar di buku sketsa. Selebihnya dia memilih untuk menonton film dan tidur. 

Biasanya, Mino memilih untuk mencari wanita cantik di bar lalu mengajak mereka mengobrol yang akan berakhir di mana Mino akan mengajak mereka berkencan setelah turun dari pesawat. Namun,untuk penerbangan kali ini Mino sedang tidak ingin melakukan itu entah kenapa.

Di sebelahnya duduk seorang remaja laki-laki yang memakai headphone dan sibuk bermain game dari detik pesawat mulai berangkat. Anak itu sepertinya tidak ada tidur sama sekali.

Melihat semangat anak itu, Mino menjadi teringat dirinya saat SMP yang juga selalu bersemangat bila sudah menggambar pakaian sehingga membuatnya tidak ingin tidur.

Setelah mengerjakan tumpukan tugas sekolah dan melaksanakan kegiatan lainnya, Mino masih mempunyai waktu untuk menggambar pakaian. Kadang dia menggambar hingga pagi.

Tentu saja hal itu membuat ibunya-yang masih memperhatikan kesehatan Mino-marah. Tapi, Mino mengacuhkannya. Dia tahu apa yang dia lakukan, jadi dia tidak peduli apa kata ibunya.

Selesai mengambil koper besarnya yang berat di bagian baggage claim, Mino berjalan menuruni eskalator menuju bagian pemeriksaan paspor.

Dia sebenarnya tidak menyukai pemandangan penuh sesak orang-orang dari berbagai negara yang memenuhi bandara itu tapi mau bagaimana lagi.

Untungnya pemeriksaan paspor berjalan dengan cepat dan lancar. Ketika Mino keluar dari bandara, dia sudah disambut Pierre, supir kepercayaan keluarga Mino.

Keluarga Mino mengenal Pierre ketika mereka sekeluarga pergi ke Paris saat Mino masih berusia 7 tahun. Pierre waktu itu berprofesi sebagai supir limusin sewaan. Sekarang dia sudah pensiun, namun masih suka menawarkan jasa pada turis untuk berkeliling dengan mobil pribadinya.

Dia begitu baik dan ramah selama Mino dan ibunya berada di Paris, sehingga ibu Mino mempercayakan semuanya bila mereka kembali lagi ke Paris.

Apalagi begitu mengetahui Mino bersekolah fashion di Chambre Syndicale de la Haute Couture selama empat tahun, Pierre begitu senang. Dia selalu siap bila Mino membutuhkannya.

Dia menemani Mino ke manapun, mengajak Mino ke tempat-tempat hidden gem di Paris, mengajari Mino bahasa Perancis sehari-hari hingga berbagai kata-kata kasar, bahkan sering mengajak Mino ke rumahnya untuk menemui keluarganya.

Usia Pierre terpaut tiga puluh tahun lebih tua dari Mino dan dia sudah menganggap Mino seperti putranya sendiri.

"Mino, anyeonghaseyo!" sapa Pierre dengan aksen Korea-nya yang terdengar lucu. Dia memeluk Mino sambil menepuk bahunya. "Ça va?"

"Bien. Et toi?" Mino balas memeluk Pierre.

"Bien." Pierre tertawa ceria seperti biasa. "Mau makan dulu?" tawarnya kemudian. Pierre tidak berubah, masih sama perhatiannya seperti dulu.

"Tidak, aku mau langsung ke hotel saja, aku mau istirahat. Besok masih banyak yang harus aku kerjakan," tolak Mino seraya membuka pintu mobil dan duduk. Sementara Pierre langsung duduk di belakang kemudi dan menjalankan mobil menuju hotel Four Seasons George V yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit.

"Katanya kau mau membuka cabang Paracosm di sini, ya?" Pierre membuka obrolan.

"Iya. Aku sudah menyewa tempat di Champs Elysées. Ada bangunan yang tidak terpakai. Ibu sudah mengurus izinnya, sisanya aku yang mengatur renovasi dan interior toko." jawab Mino dengan mata lurus ke depan.

Je t'aime à la Folie (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang