Chapter 39 - The Contract

93 20 26
                                    

🌻

Jisoo berjalan kaki di sepanjang kawasan Hangangno-dong, distrik Yongsan di bawah terik matahari di bulan Juli. Dibenarkannya letak topi yang menutupi kepala. Lidahnya sibuk menyeruput es lidah buaya botolan.

Pandangannya mengedar ke sekitar. Tak banyak yang berubah. Masih banyak toko-toko kelontong, restauran ayam, kedai soju, dan kedai ramen para tetangga yang masih dia kenali. Mino tadi ingin menemaninya, tapi Jisoo menolak. Dia hanya ingin sendirian mendatangi daerah di mana dia pernah tinggal dulu.

"Nanti jemput aku di YG Stage saja, oppa," usul Jisoo ketika mobil Mino berhenti di sebelah trotoar. Jisoo punya dua agenda hari ini. Mendatangi rumahnya dan pergi ke agensi YG Stage untuk membicarakan kontrak.

"Kau tahu caranya ke sana?" tanya Mino. Terulas senyum mengejek di bibirnya karena dia ingin menguji Jisoo apakah masih ingat dengan jalanan Seoul.

Jisoo menangkup wajah Mino gemas. "Of course I know how to get there! Just because I've been in LA for four years, doesn't mean I forgot everything about my hometown!"

Mino tergelak. "Ya, siapa tahu kau lupa. Seoul sudah banyak berubah sejak kau pergi. Hati-hati, jangan sampai nyasar."

Jisoo memanyunkan bibirnya seraya membuka seat belt. "Aku bukan anak kecil!"

Mino yang mendengarnya buru-buru meremas jemari Jisoo dan berkata, "Aku hanya ingin kau hati-hati, memangnya salah?"

 Ya, memang tak ada salahnya bagi lelaki itu untuk khawatir. Lagipula dia tidak ingin pura-pura kalau dia tidak menyukai perhatian Mino.

"Arasseo. Kau juga hati-hati, oppa. Kau hari ini mau ke mana?" Jisoo memasang topi sambil mengeluarkan cermin kecil dari tas untuk merapikan rambutnya.

Mino mengawasi gerak-gerik Jisoo sambil menjawab dengan nada menggantung. "Um... sepertinya aku ingin menjenguk Sulli di Chungah Park. Sudah lama aku tidak ke sana."

Jisoo meletakkan cermin di pangkuan. Senyumnya memudar. Matanya menerawang. "Coba ibuku dulu pesannya tidak aneh-aneh, aku pasti masih bisa menjenguknya."

"Pesan aneh apa?"

"Ibu ingin abunya ditebarkan di laut karena beliau tidak memiliki uang untuk bayar sewa tempat di Kolumbarium, tapi aku buang abunya di Sungai Han karena aku tidak sempat pergi ke pantai." Jisoo mengenang peristiwa di mana dia, kala itu masih berusia delapan belas, terisak-isak dalam diam sembari menghamburkan abu ibunya segenggam demi segenggam di pinggiran sungai.

"Memangnya boleh membuang sesuatu di sana?"

Jisoo menundukkan kepala. "Aku melakukannya sembunyi-sembunyi di malam hari."

"Tidak apa-apa, ibumu pasti maklum kau waktu itu tidak bisa ke pantai. Air sungai muaranya juga ke laut." Mino menghibur Jisoo. "Dan itu artinya kau masih bisa menjenguk ibumu di Sungai Han yang justru lebih dekat."

"Iya, kau benar." Senyum Jisoo kembali mengembang. "Kita harus menjenguknya berdua. Aku ingin mengenalkanmu pada ibu."

"Kapan?"

"Sore ini. Setelah urusan kontrak selesai. Otte?"

Mino mengangguk sebagai jawaban. Setelah melandaskan bibirnya di bibir Mino singkat, Jisoo keluar dari mobil.

Perempuan itu sekarang berada di tengah tanjakan dengan napas tersengal. Dia awalnya mengira masih kuat menaiki undakan-undakan menuju rumah kecilnya di puncak, namun perhitungannya salah. Tanjakan itu rasanya dua kali lipat lebih panjang dari ingatannya semula. Mungkin kalau sedang tidak datang bulan, dia tidak akan mudah lelah seperti ini. Pinggangnya seakan mau copot.

Je t'aime à la Folie (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang