Chapter 10: What Am I Doing?

157 44 15
                                    

🌻

Malam semakin larut. Namun, para tamu kian banyak berdatangan hingga memenuhi klab itu. Sebagian besar dari mereka memilih untuk turun ke lantai dansa, menari berdesakan tanpa mempedulikan tiap individu yang bau keringat bercampur bau alkohol dan asap rokok. Sementara sebagian kecil yang lain memilih duduk dan mengobrol. Termasuk Jisoo yang tengah duduk di bar dengan gelas kecil di hadapannya yang sudah diisi ulang oleh sang bartender sebanyak empat kali.

Perempuan berambut sepunggung itu bertopang dagu. Sesekali dia memainkan kukunya yang mengkilat berwarna merah. Di lain waktu, dia asyik memainkan es batu di dalam gelas. Kedua matanya sesekali memperhatikan sekitar, sembari berharap sosok yang dia nantikan menyeruak di balik pintu masuk.

Jisoo sudah duduk di sana selama satu jam. Selama itu pula dia menolak tiga pria yang mencoba mengajaknya berkenalan. Dua bartender yang bertugas hanya mengajak bicara seperlunya saja karena mereka sibuk melayani tamu-tamu lain.

Mata Jisoo melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah dua pagi. Perempuan itu mengembuskan napas berat sebelum meraih gelas dan menenggak isinya sampai tandas, hingga seseorang tiba-tiba menepuk bahunya lembut.

"Maaf, Kim, tadi aku harus menghadiri acara kantor dulu!" Selesai berkata begitu, lelaki berambut kelabu dengan wajah penuh kerutan itu, Nate, mengucapkan pesanannya pada sang bartender. Baru setelah itu dia berpaling pada Jisoo. Bibirnya tersenyum memandang wajah Jisoo yang terlihat tak bernyawa akibat dilanda kebosanan. Namun, baginya hal itu tidak mengurangi kecantikannya.

Meski sudah menginjak kepala enam, Nate masih gagah dan bersemangat. Lebih dari itu, dia juga sosok yang menyenangkan. Jisoo sampai lupa apa yang membuat dirinya tergila-gila pada lelaki ini. Semuanya terjadi begitu saja dan begitu dia tahu kalau Nate juga memiliki perasaan yang sama, dia tidak mau mengalah pada logikanya yang terus menerus menghantui pikirannya selama dua tahun terakhir ini. Logika yang mengatakan bahwa yang dia lakukan ini salah. Jisoo semula mengabaikan semua itu dan rela mengambil resiko karena dia merasa kalau dia berhak bahagia. Semua ini adalah suatu kewajaran. Dia sudah bekerja keras hingga sampai ke titik ini dan dia pantas mendapatkannya. Pantas mendapatkan hati sang pemimpin perusahaan yang selalu memanjakannya itu.

"Langsung saja, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya seraya membuka kancing kemejanya yang paling atas lalu melonggarkan dasi.

Jisoo tidak langsung menjawab. Dia malah menghindari tatapan Nate karena mendadak lidahnya terasa kelu.

"Apa perlu kita bicara di mobilku saja? Mungkin di sini terlalu ramai?" Tangan Nate terulur ingin meraih dagu Jisoo, tapi Jisoo menepisnya.

"Kita tidak usah bertemu lagi..." Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Jisoo.

Nate mengernyit. "Why?"

"You know why." Dada Jisoo terasa dihimpit sesuatu yang sebentar lagi akan meledak kalau dia tidak segera beranjak dari tempat itu. Air matanya merebak, tapi dia berusaha untuk tidak menumpahkannya di depan Nate. Jisoo bangkit, bersiap meninggalkan Nate. Namun, lelaki itu menahan lengannya. Wajahnya seakan mengatakan dia butuh penjelasan dari Jisoo.

"Let me go or I'll scream." Jisoo masih tidak mau memandang Nate.

"Go scream then."

"Let me go, you pervert old man!" Tanpa diduga olehnya, Jisoo benar-benar berteriak sambil berusaha melepaskan diri. Beberapa tamu terdekat berpaling ke arah mereka.

"Ssshh..." Nate mulai panik dan menenangkan Jisoo. "Kita bicara di mobilku saja, oke?"

"Tidak, aku tidak mau masuk ke mobilmu kalau pada akhirnya di sana kita tidak berbicara sama sekali!" Jisoo menepis kedua tangan Nate yang menguasai bahunya. "Apa yang kita lakukan ini salah. Aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana perasaan istri dan anak-anakmu."

Je t'aime à la Folie (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang