Chapter 32 - Paris (3)

182 23 26
                                    

🌻

Jisoo menurunkan jendela mobil, membiarkan angin menerpa wajahnya. Perempuan itu sejak tadi tak berhenti tersenyum. Jalanan yang dilihatnya begitu indah dengan pohon-pohon tinggi menjulang dan lapangan rumput luas terbuka menghampar di kiri dan kanan. Ingin rasanya Jisoo berlarian di sana andai saja sekarang musim panas.

Sungai-sungai di bawah jembatan yang membeku begitu jernih. Bila tidak sedang musim dingin, mereka mengalir deras melewati bebatuan, jelas Pierre.

Setibanya di desa kecil, pemandangan berganti dengan rumah-rumah bercat putih, beratap abu-abu gelap. Setiap rumah yang merupakan bangunan tua terbuat dari batu.

Loire Valley terkenal dengan beberapa chateau--sebutan untuk rumah atau kastil pedesaan Perancis--yang sebagian terbuka untuk umum, sebagian lagi milik pribadi. Chateau untuk umum dibantu pemeliharaannya oleh pemerintah. Biasanya chateau-chateau itu diberi nama berdasarkan nama wine yang diproduksi di lingkungannya.

Tiba di salah satu chateau kecil dengan pemandangan hutan di belakangnya, Jisoo merasa terlempar ke ratusan tahun lalu. Kastil kecil di hadapannya berdiri begitu kokoh. Atapnya runcing menjulang tinggi.

Mathieu, teman Pierre, menyambut mereka di pintu. Empat anak kecil--yang kira-kira paling tua berusia empat tahun dan yang paling muda dua tahun--ikut berdiri di kanan dan kirinya. Tersenyum girang menyadari ada tamu. Mathieu mengatakan bahwa anak-anak dan cucu-cucunya datang untuk merayakan Natal bersama.

Pierre merasa tidak nyaman. Mino, Jihoon, dan Jisoo juga merasa begitu. Namun, Mathieu bilang jangan sungkan. Chateau itu besar, jadi diramaikan empat belas orang sama sekali tidak mengganggu.

Interior di dalam rumah persis seperti yang Jisoo bayangkan. Dindingnya dari batu pualam. Keadaannya masih sama seperti chateau ini pertama kali dibuat, jelas Mathieu. Pihak keluarga merawat keorisinalitasannya dengan sangat baik; hanya beberapa jendela dan pintu kayu yang rutin diperbaiki.

Mereka bertiga kemudian diajak langsung ke ruang makan bermeja kayu panjang dengan kursi-kursi tinggi. Sang Tuan Rumah sudah menyiapkan makan malam berupa Sole Meunière dari ikan Dover Sole segar yang digoreng dengan mentega, diberi perasan lemon, dan ditaburi peterseli.

Mino ingin duduk di sebelah Jisoo, tapi perempuan itu memilih pindah duduk di sisi Pierre. Tak ada yang menyadari kalau Jisoo sedang tidak ingin didekati, kecuali Mino sendiri. Jihoon asyik bercanda dengan cucu kedua Mathieu yang duduk di sampingnya. Pierre sendiri nampaknya tak keberatan. Lelaki itu malah mengajak Jisoo bicara.

Mathieu lalu menuang anggur putih buatan sendiri ke masing-masing gelas mereka. Dilihat Jisoo, semua yang ada di meja memutar-mutar gelas tinggi mereka agar aroma anggur yang masih terjebak menguar dari sana. Mathieu mengatakan bahwa anggur itu berusia dua puluh tahun.

Mino menyesapnya sedikit, mencoba merasakan apa yang menempel di lidahnya. Jihoon sendiri ikut berpikir saat anggur itu memenuhi rongga mulut. Sementara Jisoo langsung menenggaknya hingga tandas dan berseru, "It tastes good! Can I have more?"

Semua tertawa atas reaksi Jisoo, kecuali Mino. Lelaki itu masih heran kenapa Jisoo bertingkah seperti biasa pada yang lain, tapi mendadak dingin padanya.

Selesai makan, Mathieu mengajak mereka ke ruang bawah tanah. Pencahayaannya begitu remang. Di sepanjang lorong terdapat barel-barel kayu kosong berjejer. Mathieu menjelaskan bahwa tempat ini dulunya dipakai untuk membuat wine oleh keluarga sang istri. Sekarang hanya dijadikan sebagai wine cellar di mana berbotol-botol anggur tersusun rapi di dua buah rak yang berhadapan.

Je t'aime à la Folie (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang