03 - Perhatian

31 6 2
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45. Nasha yang sadar dia tidak boleh terlambat lagi, langsung berlari keluar dari kamarnya setelah menguncir rambutnya. Dengan terburu-buru ia memakai sepatunya, dan langsung mengambil beberapa roti.

“Ma, Nasha pergi dulu, ya,” ucap Nasha pada Fina—ibunya.

Fina hanya menggeleng melihat tingkah laku anak keduanya itu. Menurut Fina, Nasha dan kakaknya —Nadhif— memiliki sifat yang sangat jauh berbeda. Seperti langit dan bumi. Contohnya, sekarang. Nadhif sudah berangkat kuliah sejak Nasha masih sibuk di dalam cerita indah alam bawah sadarnya.

Nasha berlari kecil sambil mencari-cari ojek. Namun, tidak ada satu pun ojek yang diam di tempat. Semuanya sedang pergi, atau mungkin ada yang sedang libur. Nasha menggerutu kesal. Ia memiliki kakak yang berumur tidak jauh berbeda, namun tidak peduli padanya. Kakaknya itu pergi tanpa mengajaknya untuk berangkat bersama. Sadis.

Tin tin

Nasha menoleh. Ia hampir marah karena seseorang malah menglakson dirinya padahal jalanan masih sangat lega. Namun, hal itu ia urungkan saat melihat seseorang yang menatapnya kebingungan. Sama kebingungannya dengan Nasha sekarang.

"Lo ngapain disini? Rumah lo sekitar sini juga?" tanya Nasha sambil mendekat ke arah motor Alvin.

Alvin menggeleng, "Gue ngikutin lo kemarin. Jaga-jaga aja takutnya lo telat. Eh, bener aja lo telat!"

Nasha mengernyit, "Lo ngikutin gue kemarin? Kok, gak ngasih tau gue, sih? Tau gitu gue gak usah naik ojek kemarin!"

"Heh! Yang tiba-tiba pergi waktu ditanya, tuh, siapa? Lo, kan? Kok jadi nyalahin gue?"

Nasha diam. Ia lalu menatap Alvin penuh tanda tanya. Seingatnya, Alvin tadi bilang kalau dia mengikuti Nasha kemarin karena takut hari ini Nasha terlambat.

"Kalau dipikir-pikir. Kok, lo care banget sama gue?"

Alvin hanya diam memperhatikan Nasha yang sedang bersandar di motornya sambil memperhatikan wajahnya. Ia lalu melihat  jam tangannya dan memutar malas bola matanya.

"Gue gak mau telat karena lo, ya! Kalau mau ikut, naik. Kalau engga, minggir!"

Nasha menggerutu karena Alvin tidak mau menjawab pertanyaannya. Ia lalu berjalan menuju jok belakang. Daripada hari ini ia telat lagi, ia lebih baik tidak mendapatkan jawaban dari Alvin.

"Gue naik, ya. Lo pegangin motor lo, gue berat," ucap Nasha sambil memegang pundak Alvin untuk naik ke atas motor. "Let's go!"

Alvin tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ternyata, tidak ada salahnya berteman dengan seseorang yang tidak pernah absen keterlambatan. Nasha sangat baik, ia juga asik. Nasha juga cantik, meski kadang penampilannya terlihat acak-acakan.

Alvin mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi hingga membuat Nasha memegang erat bahunya. Bahkan, Nasha menjerit histeris sambil memukul bahu Alvin. Bukannya memelankan kecepatan motornya, Alvin malah sengaja menambah kecepatan motornya. Membuat Nasha berteriak semakin histeris karena takut jantungnya copot di tengah jalan.

Nasha masih kesal sambil terus diam di dekat motor Alvin. Ia sengaja menghalangi jalan Alvin agar Alvin terlambat masuk ke kelas. Tetapi, Alvin tampak tidak peduli. Ia masih saja tertawa keras karena Nasha yang ketakutan saat diboncengnya tadi.

"Alvin!" kesal Nasha.

"Apa?" jawab Alvin. Ia lalu tertawa lagi saat melihat wajah Nasha yang memerah karena marah. "Lo udah mirip patrick! Hahaha."

"Bodo, ah! Gue kesel sama lo, Vin! Gue ketakutan lo malah asik-asiknya ketawa. Lo kira gue gak pingin nangis apa? Lo tau gak apa yang gue pikirin tadi? Gue berasa lagi naik kereta cepat menuju liang lahat tau gak!"

Alvin menghentikan tawanya, sadar kalau Nasha benar-benar takut. Ia menatap Nasha yang sudah tidak lagi menatapnya. Nasha sedang memalingkan wajahnya, mungkin menahan tangisnya pecah. Tapi, Alvin tau kalau Nasha ingin menangis. Terbukti dari suara seraknya.

"Iya, ya udah. Gue minta maaf."

Nasha menatap Alvin, "Kalau semuanya bisa diselesain dengan maaf, buat apa ada hukum dan polisi?" balasnya sambil melangkah pergi.

Namun, langkahnya terhenti saat Galih ada dihadapannya. Menurut Nasha, hari ini hari yang buruk. Setelah jantungnya hampir copot, Nasha langsung dihadapkan dengan Galih yang memasang wajah tidak suka.

Baru saja Nasha akan tersenyum, Galih sudah memutar badannya dan pergi. Tidak biasanya Galih seperti ini. Apa mungkin Galih sakit hati pada Nasha karena perkataan Nasha kemarin?

"Kak Galih... tunggu!"

Galih pura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan.

"Kak Galih!"

"KAK GALIH!" Nasha sudah menaikkan suaranya. Namun, Galih masih saja pura-pura tidak mendengarnya.

Nasha menarik nafas mencoba meyakinkan dirinya sendiri, "ARDIAN GALIH MAHENDRA!"

Galih menghentikan langkahnya. Ia membalikan tubuhnya dan membulatkan matanya pada Nasha yang sedang menatapnya. Ia lalu berjalan mendekati Nasha.

"Tadi kamu bilang apa?" tanya Galih mencoba tetap tenang.

"Apa harus aku ulang?"

Galih diam. "Aku gak pernah kenal Nasha yang gak sopan!"

Nasha terdiam mendengar ucapan Galih. Ia mengaku bahwa ia salah telah menyebut nama Galih begitu saja. Meski umur Galih dan Nasha hanya berbeda satu tahun, tetapi di sekolah ia tidak memanggil kak rasanya aneh. Bahkan, Nasha malah berteriak tidak sopan seperti tadi.

Nasha menunduk, "Maaf."

Galih menghela nafasnya, "Mau apa?" tanyanya dingin.

"Aku mau minta maaf, kak."

Galih mengernyit, "Untuk?"

"Aku gak bermaksud nyakitin hati Kak Galih, kok, beneran. Kemarin aku—"

"Pulang sekolah aku tunggu presentasi hasil pemikiran kamu sama Alvin," potong Galih dan berlalu pergi.

Nasha menggeleng tidak percaya pada sikap Galih yang berubah 180°. Hanya karena Nasha dekat dengan Alvin, Galih bisa sedingin itu? Dan seingat Nasha, Galih selalu memberikan waktu lebih tentang apapun pada Nasha. Tetapi sekarang, baru saja kemarin ia berdiskusi dengan Alvin, ia harus mempresentasikannya sekarang? Apa Galih sehat?

"Lo emang deket sama Galih?" tanya Alvin tiba-tiba.

Nasha mendelik. Ia masih marah pada Alvin, "Bukan nya lo gak mau telat, ya? Kok, masih disini?"

Alvin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan nyengir kuda, "Tadi gue takut lo diapa-apain sama si Galih. Makanya gue nungguin lo."

Nasha mengernyit, "Lo aneh banget! Dari muka lo, lo gak keliatan tipe-tipe orang yang suka care sama orang lain."

Alvin memutar malas bola matanya, "Siapa juga yang care sama lo!"

Nasha memicingkan matanya sambil tersenyum penuh arti pada Alvin. Alvin yang malas melihat wajah Nasha seperti itu hanya berlalu meninggalkan Nasha. Nasha tidak tinggal diam, ia ingin menjahili Alvin sama seperti Alvin menjahilinya saat naik motor tadi.

"Kalau lo suka sama gue, bilang aja. Gak 'pa-pa, kok! Gue tau gue cantik makanya cowok-cowok kayak lo gampang kepincut."

Alvin menghentikan langkahnya dan menatap Nasha tidak percaya, "Maksud lo? 'Cowok-cowok kaya lo'?"

Nasha menghela nafasnya, "Maaf ya gue gak bisa jelasin."

Alvin semakin mendekat. Ia memejamkan matanya menahan kesal pada Nasha, "Kenapa? Kenapa lo gak bisa jelasin, hm?"

Suara berat Alvin sukses membuat Nasha terdiam. Ditambah, posisi Alvin sekarang yang begitu dekat dengannya. Namun, ia harus sadar. Ia tidak boleh menaruh perasaan pada Alvin. Masalah akan begitu panjang jika ia sampai menaruh hati untuk Alvin.

"Level otak kita beda."

~Vacilante~
18 Agustus 2020

To be Continued

VACILANTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang