"Sha, udah..." bujuk Fiona kala Nasha tak kunjung menghentikan tangisnya.
Waktu sudah sangat sore namun Nasha, Fiona, dan Calista masih berada di sekolah. Nasha enggan pulang karena masih merasa sedih sekaligus marah pada dirinya sendiri. Ia telah menghancurkan interview-nya. Ia yakin, ia tidak akan terpilih menjadi sekretaris umum OSIS selanjutnya.
Calista mengusap punggung Nasha, "Lo jangan nangis terus, Sha. Liat, tuh, mata lo! Udah bengkak gitu."
"Gue kesel, Cal. Gue kesel sama diri gue sendiri. Liana tadi udah percaya dan minta gue buat lebih menonjol. Tapi, gue malah ngancurin semuanya."
"Lo gak salah, Sha. Kak Tasya yang terlalu keras sama lo," sanggah Fiona.
"Baik, untuk Tasya silahkan memberi pertanyaan pada Nasha, dan setelah itu, Nasha diperbolehkan untuk meninggalkan ruangan."
Tasya mengangguk, "Seorang sekretaris itu harus selalu bersama dengan ketuanya. Ia juga harus rela untuk mengorbankan jam belajarnya untuk membuat surat-surat yang diperlukan. Selain itu, seorang sekretaris juga perlu datang lebih awal untuk mengabsensi setiap pengurus yang hadir. Apakah kamu siap? Dilihat dari pengalaman, kamu bukan seseorang yang bisa memenuhi kriteria sebagai sekretaris. Apa hal yang bisa kamu yakinkan kepada saya untuk bisa memilih kamu sebagai penerus saya?"
Nasha diam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Tasya. Sudah Nasha duga kalau Tasya akan mempertanyakan hal itu. Tetapi, setelah berpikir cukup lama pun, Nasha tak bisa menemukan jawabannya.
"Kenapa diam? Saya, kan, sedang bertanya."
Nasha menoleh menatap Tasya yang sedang menampilkan tatapan intimidasinya. Ia tidak pernah ingat bahwa Tasya memiliki sifat seperti itu. Yang ada diingatannya hanyalah sifat Tasya yang begitu baik dan ramah hingga membuatnya mengaguminya. Tetapi, hari ini ia pastikan untuk tidak lagi mengagumi Tasya.
"Saya memang tidak punya ambisi yang besar seperti teman-teman saya. Bahkan, saya memiliki niat menjadi sekretaris hanya beberapa hari sebelum pemilihan OSIS baru dimulai. Saya tidak bisa meyakinkan kak Tasya untuk memilih saya sebagai sekretaris umum selanjutnya karena saya pun tidak yakin dengan apa yang saya lakukan sekarang," jawab Nasha sambil menunduk.
"Sha," bisik Liana.
Nasha tidak ingin menggubris perkataan temannya. Hari ini adalah penentuan pemilihan OSIS selanjutnya, dan ia akan membicarakan apapun yang ia pikirkan. Terserah jika nanti ia tidak lolos, ia hanya ingin keluar dari ruangan ini tanpa penyesalan.
"Kak Tasya tau ajaran apa yang dianut oleh Machiaveli dalam teori pembentukan negara?" tanya Nasha.
Tasya memutar bola matanya malas, "Saya yang harusnya bertanya, bukan kamu!"
Nasha menyunggingkan senyumnya, "Saya tidak terlalu pintar untuk memahami hal tersebut. Saya hanya mengambil sisi positif dari teori tersebut. 'Yang kuat yang berkuasa'. Saya mungkin tidak memiliki kemampuan yang pantas untuk dijadikan sekretaris umum OSIS selanjutnya. Pengalaman saya selama OSIS juga buruk. Jadi, saya hanya akan kuat untuk kesuksesan saya di masa depan."
"Saya tidak tau hal yang saya katakan ini bisa menjadi jawaban dari pertanyaan kak Tasya tadi atau tidak. Saya hanya membicarakan apa yang terlintas di benak saya."
Nasha lalu menoleh pada Rival yang masih setia tersenyum padanya, "Kak Rival, golden ticket tadi masih berlaku, kan? Boleh saya keluar sekarang?"
Tangis Nasha kembali pecah saat ia mengingat dengan lancangnya ia keluar dari ruang OSIS. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan Tasya, mengapa ia harus keluar dari ruang OSIS secepat itu? Ia juga sudah berkata bahwa ia akan melanjutkan interview-nya, lalu mengapa ia memilih untuk keluar?
KAMU SEDANG MEMBACA
VACILANTE
Teen FictionKatanya, menjadi pengurus OSIS akan selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Bersikap tegas, bisa membagi waktu dengan baik, dan berpikir dengan cepat. Namun, Nasha-seseorang yang tidak mempunyai satupun sifat diatas-mampu membuktikan bahwa dirinya b...