30 - Cantik

15 2 1
                                    

Alunan musik di tengah remang-remang lampu membuat hati yang sebelumnya gundah, dan pikiran yang sebelumnya berantakan,  menjadi tenang. Pikiran yang tegang, dan fisik yang lelah seketika menghilang terbawa oleh alunan musik yang begitu nyaman di telinga. Alvin dan teman-temannya kini sedang berada di sebuah cafe di tengah kota Bandung. 

Alvin meregangkan seluruh tubuhnya, tak lupa, bibirnya yang terbuka lebar karena menguap. Badannya terasa pegal-pegal, mungkin karena ia banyak bergerak hari ini tanpa istirahat yang cukup. Tetapi, ia tidak sendirian. Teman-temannya yang lain pun merasakan hal yang sama dengan dirinya.

"Selesai!" ucap Calista sembari menyandarkan punggungnya pada kursi. Tak lupa, ia meregangkan tubuhnya, merasakan rasa nikmat yang tidak terdefinisikan.

Devan menaikkan pandangannya dan menatap Calista yang kini sedang menyimpan kedua tangannya di atas kepala, dengan mata yang masih fokus pada layar laptop, "Udah selesai, Cal?" tanyanya.

Calista mengangguk sembari tersenyum, "Udah, Dev."

Devan mengangguk, "Maaf, ya? Jadi ngerepotin MPK."

Calista menggeleng pelan, "Gak 'pa-pa, kok. Lagian emang udah seharusnya kita saling bantu, kan?"

"Kedepannya, ajak lagi kita, ya. Entah untuk diskusi atau bantu-bantu hal kayak gini," tambah Sherina.

Rangga mengangguk, "Iya, gue setuju banget! Apalagi, MPK punya ahli komputer kayak Calista."

Nasha yang semula fokus pada layar laptop bersama Liana kini meregangkan tubuhnya dan menyandarkan diri pada kursi, "Hasil karangan esai juga udah selesai. Udah ada juaranya juga."

Devan dan teman-temannya yang lain menghela nafas. Akhirnya, setelah bergelut beberapa jam dengan tugasnya, semua kebutuhan pengumuman pemenang lomba akhirnya selesai. Terakhir, hanya tinggal mencetak piagam penghargaan yang desain-nya baru saja diselesaikan oleh Calista.

Amanda melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Harusnya ia tidak berada di sini sekarang. Harusnya ia sudah pulang. Jika begini, mungkin orang tuanya akan marah karena ia pulang terlalu larut.

"Kita mau pulang kapan, temen-temen?" tanya Amanda yang hanya mendapat tatapan bingung dari semua orang.

Fiona mendekatkan dirinya pada Nasha. Tak lupa ia menoleh ke arah belakang, berusaha agar gerakan bibirnya tidak diketahui siapapun, "Baru juga selesai, udah nanya pulang aja!" bisiknya.

Nasha tertawa pelan. Jika dulu Fiona tidak suka pada Liana, kini ia berganti target. Tapi, sebenarnya Fiona bukannya tidak menyukai, ia hanya suka sekali membicarakan hal-hal yang tidak ia sukai. Dan sebagai temannya, Nasha beruntung karena tidak perlu repot meminta Fiona untuk terbuka padanya.

"Sebentar!" jawab Alvin sembari menunjukkan telapak tangannya. Ia kemudian bangkit dari duduknya, tak lupa tersenyum pada Nasha yang kini sedang menatapnya keheranan, "Gue mau kasih tau kalian sesuatu."

"Lo mau ngapain, Vin?" tanya Liana.

Alvin hanya memicingkan matanya sembari tersenyum penuh arti, "Tunggu aja. Nanti juga tau, kok!"

Alvin kemudian melangkahkan kakinya menuju panggung cafe yang terletak tidak jauh dari tempat ia dan teman-temannya duduk. Ia kemudian berbincang-bincang pada pemilik cafe membuat teman-temannya saling tatap karena bingung dengan apa yang akan dilakukan oleh Alvin.

"Alvin mau traktir kita apa, ya?" terka Angel.

"Lo tau Alvin mau ngapain, Sha?" tanya Fiona pada Nasha yang hanya dijawab gelengan.

Alvin kemudian naik ke atas panggung sembari menampilkan deretan giginya yang rapih. Rambutnya yang setengah berantakan, dan kemeja sekolahnya yang sudah keluar dari tempatnya membuat Alvin setengah keren. Sekarang mungkin setengah, tetapi yang dilakukan Alvin di detik selanjutnya membuat Alvin ganteng maksimal.

VACILANTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang