Nasha membulatkan matanya, terkejut saat seseorang membuka selimut yang menutupi kepalanya. Ia menghela nafasnya lega karena Fiona dan Calista yang ternyata datang ke rumahnya. Perlahan, ia mulai bangun dari tidurnya, dan bersandar pada headboard.
"Muka lo pucet banget, astaga!" keluh Calista.
Nasha tersenyum tipis, "Gue gak 'pa-pa, kok," jawabnya. Ia lalu melirik jam dinding, "Ini belum jam pulang sekolah, kenapa kalian kesini?"
"Gue kemarin kaget lo tiba-tiba gak ada waktu camping. Mau nyusul lo tapi gue cape banget. Jadi, ya, sekarang deh gue bolos. Mumpung pelajaran Fisika," jawab Fiona.
Nasha mengangguk mengerti, "Sorry, ya. Gue gak ngomong dulu sama kalian."
"Kata sorry itu harusnya diucapkan oleh Fiona dan Calista!"
Nasha mengernyit mendengar penuturan seseorang yang baru saja tiba di kamarnya. Ternyata, Alvin, Liana, dan Angel menyusul kedua temannya untuk menjenguk Nasha.
"Kalian gak setia kawan banget!" protes Liana.
Fiona dan Calista saling tatap. Mereka sengaja untuk tidak memberitahu teman-temannya itu karena mereka yakin, teman-temannya itu akan membuat keributan di rumah Nasha.
Alvin menyimpan sekantung plastik berisi makanan ringan dan duduk di samping Nasha yang kini berwajah sangat pucat. Rambutnya yang terurai membuat Nasha semakin pantas untuk menjadi seorang pasien. Benar-benar tidak terawat.
"Lo gak ke rumah sakit aja, Sha?"
Nasha menggeleng pelan, "Gue gak 'pa-pa, Vin."
"Kaki lo? Gak 'pa-pa, kan?" tanyanya lagi, Nasha mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Gue kaget banget lo kemarin tiba-tiba pulang. Lo bahkan ninggalin handphone lo," ucap Angel sembari memberikan handphone Nasha.
Nasha mengusap jidatnya yang terasa panas, "Ah, maaf. Gue lupa."
Fina—ibu Nasha—kini masuk ke dalam kamar Nasha sembari membawa beberapa piring berisi makanan dan gelas dengan teko berisi air minum. Fina tersenyum pada teman-teman Nasha yang kini juga tersenyum ramah padanya.
"Aduh, maaf ya, cuma punya ini. Silahkan dimakan."
"Ah, gak 'pa-pa, tante. Maaf merepotkan," balas Alvin sembari rersenyum.
Fina melirik kesana kemari dan sadar bahwa hanya satu orang lelaki di antara teman-teman Nasha yang lainnya, "Nama kamu siapa, Nak?"
"Alvin, tante."
Fina beralih menatap Nasha sembari tersenyum penuh arti, "Nasha gak pernah bawa laki-laki ke rumah."
Setelah mengatakan hal itu, Fina beranjak pergi dari kamar Nasha, menyisakan Alvin yang kini sedang senyum-senyum sendiri. Fiona dan teman-temannya yang lain hanya geleng-geleng kepala melihat Alvin yang salah tingkah.
"Sha," panggil Alvin, "Nyokap lo cantik, ya?"
Nasha membulatkan matanya dan memukul lengan Alvin. Pukulannya itu masih kuat meski Nasha sedang lemas, "Gila, lo, Vin!"
"Maksud gue gak gitu, Sha!"
"Lo mau godain nyokapnya Nasha, Vin?" tanya Liana tidak percaya, "Gak dapet anaknya, lo embat nyokapnya!"
Alvin menahan tawanya, "Gak ada salahnya kan gue coba?"
"Lo pulang gih jangan balik lagi ke sini!"
Alvin melepaskan tawanya. Matanya bahkan mengecil karena tawanya yang begitu lepas membuat teman-temannya menggeleng sembari tertawa pelan. Tidak percaya dengan sikap Alvin yang begitu humoris sekaligus bikin kesal. Pantas saja, Nasha selalu kesal saat bersama Alvin. Kini, teman-temannya itu tau alasannya.
Mereka kini saling tatap dalam diam. Bingung dengan apa yang harus mereka bahas. Mereka takut, mereka salah bicara hingga membuat Nasha teringat kejadian tempo hari. Tetapi, datangnya mereka ke rumah Nasha bukan hanya untuk menjenguk, melainkan mendengarkan curhatan Nasha. Namun, Nasha sepertinya tidak berniat untuk cerita.
"Sejujurnya gue malu sama kalian," ucap Nasha memecah keheningan, "Gue ngerasa gak pantes ada di tengah-tengah kalian."
"Gak boleh ngomong gitu, Nasha!" sanggah Alvin. Nasha tersenyum tipis menanggapi Alvin.
"Jangan cuma karena omongan Kak Galih, lo jadi down kaya gini, Sha," tambah Calista.
"Tapi semakin gue pikirin, omongan Kak Galih semakin masuk akal. Dari awal gue udah ngerasa kalau gue gak lolos, tapi tiba-tiba aja lolos. Rasanya aneh, kan?"
Fiona menggeleng tidak setuju, "Kak Rival tadi titip pesan sama gue. Katanya, lo harus temuin dia kalau lo udah sehat dan sekolah lagi."
°°°
Dua hari kemudian.
Angin berhembus kencang ditengah siang yang panas. Rambut-rambut kecil yang tidak masuk dalam ikatan bergerak kesana kemari seakan menari dalam kesenangan. Nasha menyelipkan sanak rambutnya yang tidak terikat pada belakang telinganya. Ia bersandar pada pagar pembatas di atap sekolah, menunggu kedatangan seseorang.
Sosok jangkung yang beberapa menit ia tunggu akhirnya datang sembari membawa dua botol minuman. Bibirnya mengulas senyuman mendapati Nasha yang kini sedang tersenyum ramah padanya.
"Maaf ya lama," ucapnya sembari memberikan salah satu minumannya.
Nasha menggeleng dan menerima minuman itu, "Gak 'pa-pa, kak."
"Udah sembuh?"
Nasha tersenyum dan mengangguk, "Cuma kaki aku aja yang belum bisa dipake lari."
Rival mengangguk. Ia lalu membuka tutup botol minumannya dan meneguknya perlahan. Mencoba tetap tenang sebelum memulai pembicaraan yang berat.
"Gue udah denger keseluruhan ceritanya dari Galih, tapi gue belum denger ceritanya dari lo."
Nasha memutar badannya dan menatap lingkungan sekolah, "Kak Galih salah paham soal hubungan aku sama Alvin. Dan..." Nasha mengulum bibirnya sebelum melanjutkan, "Kak Galih bilang yang sebenarnya, tentang hasil seleksi interview."
Rival menoleh menatap Nasha yang kini sedang menunduk, "Yang dikatakan Galih itu gak bener, Sha."
Ucapan Rival membuat Nasha menoleh menatapnya, meminta Rival untuk melanjutkan perkataannya. "Mungkin dia hanya berpikir bahwa dia yang buat lo lolos tahap interview tanpa tau kenyataan sebenarnya. Tapi sebenarnya, keputusan hasil interview itu gak ada yang karena 'dibantu'."
Nasha tersenyum tipis, "Kalau memang karena dibantu Kak Galih gak 'pa-pa, kak. Setelah aku pikir-pikir, hasil interview aku memang gak sebaik itu."
Rival terdiam. Ia bingung harus dengan cara apa agar Nasha percaya bahwa dirinya lolos bukan karena Galih, tetapi karena dirinya sendiri.
"Seingat gue, lo yang jawab PR dari gue, kan?" tanyanya dan Nasha mengangguk. "Harusnya lo tau maksud dari PR itu apa."
Nasha terdiam sembari memikirkan PR yang sudah ia lupakan. "Yang bertahan sampai akhir adalah ia yang bisa tahan dengan segala hukum alamnya," gumamnya.
"Gue gak butuh pengurus yang pintar, yang hanya pandai berbicara, karena semua itu akan lo dapatkan seiring waktu. Berbeda hal dengan yang mau bertahan. Semakin lama, orang yang mau bertahan itu akan semakin sedikit. Dan, pemikiran gue disempurnakan dengan pernyataan lo saat interview."
Nasha mengernyit tidak mengerti.
"Orang yang mampu menahan hukum alam mungkin akan bertahan, tapi belum tentu ia mampu meraih kesuksesan. Tetapi, orang yang kuat dan mau bertahan, ia yang akan sukses."
"Ini baru titik awal, dan lo belum mulai sama sekali. Ini bukan waktunya lo nyerah. Biarin Galih bilang sesuatu yang buruk tentang lo, karena kenyataannya lo gak kaya gitu. Gue sebenarnya gak mau ngomong kaya gini, tapi gue udah jatuh cinta sama lo dan temen-temen lo. Jadi, tolong bertahan, dan jangan menyerah, ya, Sha?"
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
VACILANTE
Teen FictionKatanya, menjadi pengurus OSIS akan selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Bersikap tegas, bisa membagi waktu dengan baik, dan berpikir dengan cepat. Namun, Nasha-seseorang yang tidak mempunyai satupun sifat diatas-mampu membuktikan bahwa dirinya b...