"Apa lo bilang? Nasha hilang?"
Liana mengangguk lemah, "Tadi Nasha bilang dia capek, kak. Tapi aku gak dengerin Nasha, karena kita semua harus cari pos yang lain. Dan, aku kira Nasha cuma ngeluh dan tetep ngikutin. Tapi, dia tiba-tiba gak ada."
Galih mengacak rambutnya frustasi. Ia lalu melirik jam tangannya, "Udah malem lagi!"
Alvin bangkit dari duduknya sembari membawa senter. Ia lalu menghampiri Liana yang sedang berbincang bersama panitia.
"Biar gue yang cari."
Baru saja Alvin melangkahkan kakinya, tangannya sudah ditahan oleh Rival, "Lo masih peserta disini. Lo diem aja, biar panitia yang urus. Lebih baik lo balik ke tempat lo sekarang!"
Alvin tertawa sinis, "Diem aja lo bilang? Meskipun gue peserta disini, apa gue harus diem aja liat temen gue hilang?"
"Tapi kalau lo ikut hilang, kita juga yang repot!" balas Rival, suaranya mulai naik karena kesal dengan gaya bicara Alvin yang tidak sopan.
"Gue ini laki, Val. Gue gak selemah itu! Yang harus lo pikirin sekarang, Nasha! Dia cewe, sekarang udah malem, dan dia sendirian di sana!"
Rival dan panitia yang lain saling diam. Bingung dengan apa yang harus mereka lakukan. Mereka ingin sekali mengizinkan Alvin untuk mencari Nasha. Tetapi, Alvin tetap seorang peserta yang tanggung jawabnya masih dipegang oleh panitia.
Silvia—calon pengurus OSIS kelas sepuluh— tiba-tiba saja datang menghampiri mereka. Tatapannya sedih sekaligus bingung membuat Clara menghampirinya.
"Kak..." ucap Silvia. Suaranya parau karena menahan tangis, "Kak Amanda juga gak ada."
Mendengar hal itu, mereka semua saling tatap. Mereka sudah bingung dengan permasalahan Nasha, kini ditambah dengan Amanda yang tiba-tiba hilang. Alvin memejamkan matanya geram. Ia harus menyelamatkan kedua temannya.
"Gue gak bisa tinggal diam. Gue harus cari mereka!" ucap Alvin sembari berlari dengan menyalakan senter.
Tanpa pikir panjang Galih dan Rival langsung mengambil senter dan berlari mengejar Alvin. Alvin terlalu gegabah. Ia pergi tanpa membuat rencana yang matang. Sedangkan Alvin, ia sedang kalut. Memikirkan kedua temannya sendirian di tempat yang gelap membuatnya kesal sekaligus marah karena tidak bisa menjaga kedua temannya dengan baik.
"Lo kemana, sih, Sha?"
°°°
"Amanda, kaki lo berdarah!"
Amanda menatap Nasha yang kini sedang menutup mulutnya yang setengah terbuka. Mereka kini sedang duduk bersama di dekat sebuah pohon yang besar untuk bersandar. Masing-masing dari mereka bukan ketua kelompok, itu sebabnya mereka tidak bisa meniup peluit dan meminta pertolongan. Yang bisa mereka lakukan hanyalah diam sembari menunggu seseorang menjemputnya.
"Iya, tadi gue kesandung. Jalanannya gelap banget soalnya," jawab Amanda. Tatapannya tiba-tiba saja beralih pada kaki Nasha yang membiru, "Kaki lo kenapa, Sha?"
Nasha tertawa pelan, "Gue tadi jatuh waktu denger orang teriak-teriak. Kayanya terkilir."
Amanda menghela nafasnya gusar, "Gara-gara gue teriak, ya? Maaf."
Nasha menggeleng cepat, "Gue tadi terlalu seneng waktu denger ada yang teriak. Ternyata gue gak sendirian, dan itu buat gue tenang."
Amanda tersenyum dan tertawa pelan. Ini pertama kalinya Nasha berbincang seperti ini dengan Amanda. Ia hanya tau bahwa Amanda berasal dari kelas yang sama dengan Alvin, Amanda terkenal sejak MOS, dan Amanda selalu ramah pada semua orang, termasuk dirinya. Meski sebelumnya tidak pernah mengobrol, mereka pernah saling tersenyum saat tidak sengaja saling tatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
VACILANTE
Teen FictionKatanya, menjadi pengurus OSIS akan selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Bersikap tegas, bisa membagi waktu dengan baik, dan berpikir dengan cepat. Namun, Nasha-seseorang yang tidak mempunyai satupun sifat diatas-mampu membuktikan bahwa dirinya b...