Beberapa siswa kini berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Sebagian besar dari mereka memakai kemeja putih bercorak hitam bertuliskan 'Seni Musik', beberapa lainnya memakai kemeja biru bertuliskan 'Paduan Suara', dan sisanya memakai kaos berwarna merah, dengan sampur di pinggangnya.
Cuaca hari ini cukup cerah, seakan mendukung keberlangsungan acara hari ini. Panggung sekolah pun sudah dihias sedemikian rupa, menampilkan panggung yang begitu indah dengan seni khas Sunda yang tidak ditinggalkan. Dan kini, Alvin beserta teman-teman satu grupnya sedang sibuk mempersiapkan alat musik di atas panggung. Penampilan pertama akan diisi oleh Alvin dan grupnya.
"Gimana? Semuanya udah lengkap?" tanya Alvin pada beberapa temannya, yang kini sama-sama sedang sibuk memeriksa alat musiknya masing-masing.
"Aji belum ada kabar," jawab Doni—teman satu grup band Alvin.
Alvin berdecak sambil berkacak pinggang. Sisa waktu menuju tampil hanya tinggal satu jam lagi. Jika Aji datang terlambat, kemungkinan semuanya akan kacau. Aji belum memeriksa alat musik yang akan ia pakai. Apalagi jika Aji tidak berniat hadir pada acara hari ini. Alvin dan teman-teman satu grupnya yang akan kena imbasnya.
"Alvin," panggil seseorang dari pinggir lapangan.
Alvin menoleh, wajahnya tiba-tiba saja mengulas sebuah senyuman. Rasa penat sekaligus kesal tiba-tiba hilang setelah melihat senyuman manis dari seseorang yang akhir-akhir ini memenuhi hatinya. Alvin lalu meletakkan gitar yang sedari tadi berada di bahunya. Kakinya melangkah, mendekat pada seseorang dengan kaos kebesaran berwarna putih, dan jeans hitam yang melekat di tubuhnya.
"Nasha," panggil Alvin membuat senyum Nasha semakin merekah.
"Lo tampil kapan?" tanyanya sembari memerhatikan Alvin yang mencoba turun dari panggung.
"Gue tampil pertama, Sha," jawabnya. Tangannya terangkat menyentuh dadanya sendiri, "Deg-degan."
"Jangan deg-degan. Lo kan udah biasa tampil sambil nyanyi. Kalau lo deg-degan artinya lo gugup. Kalau lo gugup, bisa-bisa ada sesuatu yang bakal terjadi."
Alvin tersenyum tipis, "Ya, meskipun udah biasa, kesalahan itu bisa terjadi kapan aja, kan?"
Nasha mengangguk, "Ya tapi lo gak boleh buat kesalahan, kan ada gue yang nonton lo."
Deretan gigi Alvin yang rapih kembali menghiasi wajah Alvin. Tangannya terulur, mengacak-acak rambut Nasha gemas, "Tadi berangkat sama siapa?"
Sebelum menjawab, Nasha memutar kepalanya kesana kemari mencari seseorang yang tadi sudah berbaik hati mengantarnya, "Sama pacar baru."
"Pacar baru?" Jantung Alvin tiba-tiba saja berpacu dengan cepat. Ia takut, alasan Nasha menolaknya karena Nasha ingin bersama Galih, bukan bersama dirinya. Ia juga takut, bahwa ketakutan itu akan menjadi kenyataan. Ia tidak siap. Ia tidak siap melihat Nasha dimiliki orang lain.
Bisa Alvin lihat Devan kini sedang melangkah mendekati Alvin dan Nasha membuat Alvin mengernyit kebingungan. "Tadi berangkatnya sama Devan," jawab Nasha.
Alvin berkacak pinggang sembari menatap Devan yang kini sedang tertawa pelan. Ia juga memerhatikan Nasha yang kini sedang tertawa kegelian. Nasha merasa begitu lucu melihat Alvin, baru dibercandakan sedikit, wajahnya sudah memerah karena kebingungan.
"Gak lucu, ya, Nasha!"
Nasha menghentikan tawanya. Ia lalu menatap Alvin dengan lekat, "Lo takut gue dateng sama siapa, Vin?"
"Sama yang bener-bener bisa jadi pacar lo."
"Kak Galih?" tanya Nasha membuat Alvin hanya diam menatapnya, "Setelah selesai acaranya, balik sama gue ya? Gue mau bilang sesuatu sama lo," tambahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VACILANTE
Teen FictionKatanya, menjadi pengurus OSIS akan selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Bersikap tegas, bisa membagi waktu dengan baik, dan berpikir dengan cepat. Namun, Nasha-seseorang yang tidak mempunyai satupun sifat diatas-mampu membuktikan bahwa dirinya b...