12 - My Parent

17 5 8
                                    

Nasha masuk ke dalam rumahnya. Ia disambut senyuman oleh ibunya yang langsung dipeluk oleh Nasha. Hari ini rasanya sangat lelah. Memikirkan rencana masa depan memang tidak semudah itu. Ia juga harus memikirkan konsekuensi dari langkah yang akan ia ambil.

"Kamu kenapa cantik?" tanya Fina—ibu Nasha.

Nasha menggeleng dalam pelukannya membuat Fina hanya menghela nafasnya, mengerti bahwa anak keduanya itu tidak bisa menceritakan apa yang ia rasakan. Fina juga sadar bahwa yang diperlukan oleh Nasha sekarang hanyalah sebuah pelukan hangat.

"Papa kemana, Ma?" tanyanya sambil melepas pelukan.

"Papa lagi di kamar, main sama Nabil."

Nasha mengangguk paham, "Kalau gitu Nasha ke kamar dulu, ya? Ada yang perlu Nasha urus," ucapnya sambil melangkah pergi.

Fina menghela nafasnya. Sudah beberapa hari terakhir Nasha selalu pulang larut. Dan sekarang, urusan yang dia urus selama di sekolah tidak kunjung selesai, dan malah ia bawa ke rumah. Jika dibiarkan terus, Nasha akan melupakan istirahatnya, juga tugas utama seorang pelajar, yakni belajar.

Nasha masuk ke dalam kamar. Ia lalu duduk di kursi belajarnya dan termenung. Ia masih saja memikirkan tanggung jawab yang nantinya akan ia pegang. Ia ingin sekali bilang kepada teman-temannya bahwa ia tidak bisa, dan ia tidak sanggup.

Namun, saat melihat tatapan penuh harap Alvin tadi, ia semakin tidak enak jika harus mematahkan semangat Alvin dengan tidak mencalonkan diri sebagai sekretaris.

"Ah, pusing!" gerutunya sambil mengacak rambutnya frustasi.

Tok tok tok

Nasha menoleh ke arah pintu dan diam sambil menunggu seseorang yang mengetuk pintu itu masuk. Ternyata, Fina disana, dengan tangan yang membawa sepiring buah.

"Mama boleh masuk, kan?"

Nasha tersenyum dan mengangguk, "Boleh, dong, Ma."

Fina meletakan sepiring buah itu di atas meja belajar Nasha. Ia lalu mengusap lembut rambut anak kesayangannya itu, "Belum mandi, cantik?"

"Sebentar lagi, Ma. Kaki Nasha masih pegel-pegel."

Fina mengangguk sembari tersenyum, "Nasha..." panggilnya, "Mama mau ngomong sesuatu tapi kamu jangan tersinggung, ya?"

Nasha hanya diam menatap mamanya yang tampak ragu melanjutkan perkataannya.

"Beberapa hari ini kamu pulang larut, kamu ngapain aja di sekolah?"

Nasha menghela nafasnya. Lega, karena hanya itu yang diragukan mamanya, "Setelah acara agustus-an, seleksi OSIS udah dimulai, Ma. Nasha sama temen-temen kumpul karena mau bahas kedepannya gimana. Tadinya, Nasha gak akan ambil pusing dan memilih untuk tidak mencalonkan diri lagi di kepengurusan OSIS. Tapi, salah satu teman Nasha meminta Nasha untuk menjadi sekretaris OSIS."

Fina mengangguk paham, "Terus, jadinya kamu lanjut atau engga?"

Nasha menggeleng lemah, "Nasha bingung, Ma. Nasha pingin fokus belajar buat masuk ke universitas. Tapi, Nasha juga gak bisa nolak teman Nasha. Dan juga, Nasha gak punya pengalaman di bidang kesekretaris-an. Mau bagaimana OSIS nanti kalau Nasha yang jadi sekretarisnya."

Fina tersenyum. Ia lalu mengusap bahu Nasha, "Mama sebenernya pingin kamu berhenti dan gak ikut lagi jadi pengurus OSIS di kelas 11 ini. Tapi, mama selalu keingat penyesalan kakak kamu, Nadhif."

Nasha mengernyit, "Penyesalan? Kak Nadhif punya penyesalan? Dia, kan, masuk universitas top, kenapa punya penyesalan, Ma?"

Fina duduk di kasur dekat kursi belajar Nasha, "Karena dia gak manfaatin masa SMA-nya dengan baik. Kamu tau sendiri, kan, kalau kakak kamu itu selalu belajar dan jarang bergaul?" Nasha mengangguk. "Dia nyesal, katanya, 'kalau aku bisa ulang waktu, aku pingin jadi pengurus OSIS. Setidaknya, aku ingin menjadi pengurus biasa jika tidak bisa menjadi ketua OSIS'."

VACILANTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang