1

49 14 8
                                    

MATANYA terbuka mendadak. Tanpa disadari, ia sudah bangkit duduk dengan sendirinya. Tangannya bergetar, napasnya tersengal, keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.

Namun, setelah beberapa saat kesadarannya kembali penuh, ia langsung menetralkan napasnya.

Cuma mimpi buruk,” batinnya lega namun, ketakutannya tidak berhasil disembunyikan.

Gadis dengan iris mata cokelat gelap itu menelaah seluruh ruangan kamarnya yang remang-remang karena, meski tidak ada lampu, masih ada sedikit cahaya yang menyelinap masuk dari balik sela-sela pintu. Ia pun meremas ujung selimutnya.

“Lagi-lagi aku melupakannya. Sudah berapa kali aku terjebak dalam mimpi ini?” gumamnya pelan.

"Kau pikir ini sudah jam berapa?" Suara ayahnya yang bertanya dari balik pintu. Mendengarnya, gadis itu pun dengan cepat menoleh ke arah jam di dinding. Jam setengah empat pagi. "Mandi dulu, kita berangkat jam lima!" titah ayahnya kemudian.

Tak perlu menyahutinya, gadis itu segera melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali ingi menghindari kemacetan.

Anjani Rahmanita, nama gadis itu. Gadis berwajah datar dan polos yang tak peduli akan penampilan dan penilaian orang. Ia menganut prinsip: jangan menunda, menumpuk, dan mencari masalah.

Pagi ini, seminggu menjelang tahun ajaran baru, Anjani dan ayahnya akan pindah ke rumah mendiang neneknya di desa.

Ayahnya mendapat pekerjaan yang mengharuskannya bekerja di tempat lain. Merasa Anjani tak dapat berpisah berpuluh-puluh kilometer dengannya, ayahnya pun memutuskan untuk pindah rumah, sekaligus agar Anjani bisa bersekolah juga. Karena, pada tahun ini, mendaftar di Sekolah Menengah Pertama menjadi hal yang sulit dikarenakan ada banyaknya pendaftar.

Anjani yang malang tak pernah bertemu dengan mendiang neneknya. Karena hal itulah, Anjani mungkin tidak akan merasa sedih dan kesepian saat tinggal di sana, di rumah neneknya.

Sebaliknya, ketika di rumah ini, Anjani selalu merasa sedih dan marah, karena alasan yang sama.

Sepatu kebesaran miliknya sudah ia pakai. Begitu hendak membuka pagar, mata Anjani menelusuri rumah yang sudah ia tinggali selama tiga belas tahun itu. Menyayangkan kenangannya.

"Selamat tinggal," pamitnya, lalu berjalan ke luar gerbang tanpa lupa untuk kembali menutupnya.

•••

Anjani menghabiskan waktu perjalanannya dengan tertidur. Namun, tidurnya tidak pulas karena bisingnya suara percakapan antara ayahnya dengan sang supir. Karena itulah indra pendengarannya masih berfungsi.

Sependengaran Anjani, mereka membicarakan hal-hal yang mungkin akan membuat Anjani merasa terganggu di sana.

Namun, ayahnya telah percaya kepada Anjani, bahwa gadis itu harus bisa membuktikannya … nanti.

Jalanan bebatuan yang dilewati membuat mobil mereka agak terguncang. Anjani terpaksa harus menyudahi tidurnya yang tidak pulas.

Begitu membuka mata, Anjani mendapati mereka sudah berada di tempat dengan suasana berbeda. Pedesaan. Sayangnya, kegelapan membuat Anjani tidak dapat melihat dengan jelas.

Guncangan itu masih terus berlanjut, Anjani sadar kendaraan yang membawa mereka sedang berada di jalan berbatu dan agak terjal. Untungnya, supir yang mengantar mereka bisa menakluki jalanan itu.  Mungkin karena telah terbiasa atau entahlah, Anjani tidak mau pusing memikirkannya.

Lagu lawas yang tak Anjani ketahui judulnya terputar di radio sebagai penghangat suasana. Namun, hal itu justru membuat Anjani mual meski Anjani tahu bahwa sebuah lagu tak mungkin membuat seseorang merasakan mual.

Akhirnya, gadis itu pun menempelkan keningnya ke kaca mobil. Entah mengapa, cara itu selalu manjur untuk mengenyahkan rasa mualnya meski terbilang kurang masuk akal.

Ayahnya melihat hal aneh yang dilakukan putrinya. "Anjani, kau tidak takut kepalamu terantuk?"

"Tidak," jawab Anjani. “Sekarang berapa?”

“Masih setengah enam.”

Mendengar itu, Anjani kembali menutup matanya karena merasa tak ada apapun lagi yang bisa dilihatnya selain jalanan berbatu. Hingga beberapa lama kemudian, sebuah cahaya yang beberapa kali melesat memaksa matanya untuk terbuka.

Matahari telah muncul, sinarnya menyorot di balik sela-sela daun pepohonan di jalan yang dilewati oleh mobil pick-up yang Anjani naiki.

Kini, Anjani dapat melihat dengan jelas sekitarnya. Rumah-rumah sederhana dengan halaman hijau yang luas, pepohonan rindang, bahkan jalanan yang belum diaspal. Suasananya benar-benar berbeda dengan suasana di rumah lamanya.

Kening Anjani masih setia memempel pada kaca tanpa merasa malu sedikitpun apabila orang-orang yang dilewatinya menatapnya dengan raut wajah heran. Asalkan ia nyaman, Anjani tak perlu merasa malu.

Namun, begitu melewati seorang lelaki, Anjani menatapnya datar. Pasalnya, lelaki itu terlihat sedang menahan tawa begitu melihatnya!

"Kita sudah sampai," kata Ayahnya akhirnya.

Mendengar itu, Anjani pun menjauhkan kepalanya dari jendela dan segera membuka pintu mobil.

Anjani memperhatikan rumah mendiang neneknya itu. Rumahnya jauh lebih luas, memiliki halaman dengan satu pohon jambu air di sudutnya.

Mendadak hati Anjani terenyuh begitu mengingat bahwa rumah itu adalah rumah neneknya menghabiskan masa berubannya sendirian. Pastinya sangat menyedihkan.

Namun, meski begitu, Anjani merasa lega. Karena, bila sebelumnya ia pernah bertemu dengan neneknya, tinggal di rumah ini pasti akan menjadi sebuah mimpi buruk baginya.

Dan jika hal itu benar-benar terjadi, pindah rumah pun tidak akan terasa bedanya,” batin Anjani.

Teras rumah itu pun cukup luas dengan lantai marmer di atasnya. Setelah melewati pilar yang menyangga, Anjani melihat pintu dengan dua daun yang siap menyambutnya.

Begitu memasuki pintu, Anjani langsung disuguhi dengan ruang tengah yang luas. Ada banyak perabotan yang Anjani tebak adalah kursi, meja, dan lemari yang ditutupi dengan kain putih agar tidak berdebu. Hal itu menjelaskan mengapa ayahnya tak membawa begitu banyak barang untuk kemari.

Rumah ini memiliki dua kamar di lantai bawah. Begitu memasuki rumah ini semakin ke dalam, Anjani menemukan dapur yang kemudian terhubung ke pintu toilet.

Di ruangan di lantai atas pun masih ada banyak sekali perabotan dengan kondisi yang sama seperti di lantai bawah.

Anjani mendekati jendela, lalu karena penasaran, ia pun membuka dua kain yang menutupi dua benda. Meja jahit dan kursi goyang.

Ah, neneknya pasti menghabiskan hari-harinya dengan menjahit.

Di atas nakas di dekat meja jahit yang tidak ditutupi kain, terdapat sebuah bingkai foto. Anjani mengamatinya dan ternyata itu adalah potret masa kecil ayahnya bersama nenek dan kakeknya.

Merasa udara terlalu pengap, Anjani pun membuka jendela di dekat kursi goyang neneknya. Angin sepoi-sepoi berembus masuk mengajak rambut Anjani menari-nari. Cahaya matahari pagi pun menyusup masuk, menghadirkan kehangatan di ruangan tersebut.

Anjani menopang dagunya di jendela seraya mengamati sekitar. Mungkin, ada banyak sekali hal yang akan dilaluinya di sini. Terlebih, ia akan mulai memasuki jenjang sekolah berikutnya, yaitu Sekolah Menengah Pertama.

Asal aku mau menjalaninya dengan tidak mengeluh, aku pasti bisa melewatinya,” batin Anjani menyemangati dirinya sendiri. Lagi pula, ia tidak ingin merusak kepercayaan ayahnya.

Maniknya yang indah menatap langit sembari bergumam, "Memangnya … hal buruk apa yang kemungkinan terjadi?"

•••
Presented by Room Genre THM,
yang diketuai oleh Daratale

Judul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1


HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang