4

23 6 0
                                    

"AAA! Jauhkan itu dariku!" Tiara berusaha untuk menjauhi Aulia.

"Ayolah! Waktu kecil dulu kau tak takut!" Aulia berusaha mendekatkan serangga di tangannya kepada Tiara.

Anjani berjalan dengan cukup hati-hati karena jalanan cukup terjal. Sementara Aulia dan Tiara berlarian seolah tak akan jatuh ataupun tergelincir. Mungkin tiga belas tahun hidupnya yang mereka habiskan di sini membuat mereka terbiasa akan hal itu.

Sembari berjalan, Anjani selalu memperhatikan sekitar. Matanya menangkap rimbunan pohon yang berada cukup jauh dari mereka. Anjani tahu, tempat itu adalah tempat di mana ia bertemu dengan Ratu waktu itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Aulia saat ia melihat Anjani melamun memperhatikan tempat itu.

"Tempat itu," jawab Anjani singkat seraya menunjuknya. Tak perlu diberi petunjuk lagi, Aulia langsung tahu tempat yang dumaksud Anjani.

"Hii … kenapa kau memerhartikan Hutan Arkais?" tanya Aulia dengan raut wajah ketakutan.

"Hutan Arka … apa itu?" Anjani meminta penjelasan soal nama yang disebut Aulia terhadap hutan itu.

"Hutan Arkais atau hutan kuno,” sahut Tiara. “Sebenarnya, hutan itu digunakan sebagai jalan pintas sejak lama, tetapi banyak orang yang tak ingin menggunakannya karena adanya rumor soal hal-hal mistis. Karena hal itu, hanya beberapa warga yang berani melintas—kadang malah tidak ada. Sulit sekali menemui manusia atau berpapasan dengan orang lain jika kau melewati jalan pintas itu."

Anjani mengangkat sebelah alisnya. "Itu, kan, hanya rumor, kenapa harus takut?"

"Ih, kau meremehkan hal itu? Sudah ada beberapa kejadian nyata, lho." Aulia menyahuti, membuat keadaan semakin mengerikan.

Anjani teringat perkataan Ratu saat mereka dalam perjalanan pulang hari itu. 'Bahaya dari yang tak terlihat.’

Anjani tak percaya pada hal-hal seperti itu. Hal yang benar-benar konyol dan tak dapat diterima oleh akal. Anjani pikir, orang-orang di sini terlalu kuno.

"Aku tak percaya hal itu."

"Tetapi kejadian itu memang benar-benar terjadi. Umm, contohnya saja sering ada suara-suara gemerisik rumput, padahal tak ada satupun orang di tempat itu." Aulia menceritakannya dengan nada rendah agar membuat ceritanya terdengar mengerikan.

"Bagaimana kalau itu adalah hewan?"

"Gemerisik rumput yang diinjak oleh hewan berbeda dengan suara itu. Suaranya bisa dibilang tak terlalu cepat dan pelakunya seolah punya bobot yang berat."

"Pelaku yang kita bicarakan pastinya hantu, ‘kan? Sementara hantu tak punya kaki."

Aulia ingin mengeluarkan suaranya namun, tertahan karena ia berpikir sejenak soal perkataan Anjani.

"Sudah berdebatnya?" Tiara bertanya dengan nada datar. "Sayang sekali, seru tahu."

Aulia menghela napas. "Tetapi, Anjani, meski menurutmu kedengarannya tak masuk akal, kau harus tetap berhati-hati, jangan meremehkan seperti itu."

"Kenapa?"

"Ingat, ini di desa, bukan kota. Kau berada di tempat yang berbeda,” pesan Aulia. “Kurasa, berkat bertemu denganmu aku jadi tahu kalau di kota tak ada hal mistis semacam ini di sana.

"Sebetulnya, di sana pun beberapa orang ada yang memercayainya. Tapi tidak denganku." Perkataan itu membuat Aulia cemberut.

Anjani mengibaskan rambutnya. Hari benar-benar panas siang ini. Ditambah adu mulut tentang persoalan konyol tadi.

"Ngomong-ngomong, di sekitar sini ada yang menjual cermin?" tanya Anjani. Ia kembali terpikirkan soal perkataan orang tadi saat mereka masih di sekolah.

"Tak tahu," jawab Aulia singkat.

"Sebetulnya, ada beberapa toko di luar desa, salah satunya mungkin menjual cermin. Memang lumayan jauh jika melewati Hutan Arkais, tetapi lebih memakan waktu sangat lama bila tak mengambil jalan pintas itu," jawab Tiara.

Anjani mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan pergi ke sana, mungkin hari Sabtu."

Aulia yang semula terdiam langsung terkejut. "Kau akan melewati jalan pintas itu?"

Anjani mengangguk. "Aku tak punya kendaraan apapun, tak ada pula kendaraan umum di sini, 'kan? Ditambah ayahku akhir-akhir ini selalu sibuk. Jadi tak ada pilihan lain, aku akan pergi lewat hutan itu."

"Hii … jangan sampai kau melamun! Beberapa kali kutemukan kau melamun saat di sekolah tadi," ujar Aulia mengingatkan.

"Aku tak melamun, kok."

"Kalau begitu, ajak orang lain untuk menemanimu," saran Aulia.

"Kau mau?" tawar Anjani. Aulia tentu menggeleng kuat. Saat pandangannya menoleh ke Tiara, gadis itu seolah tak melihatnya.

"Kalau aku harus berlatih untuk upacara, aku tak mengada-ngada soal itu, mereka memang merekrutku."

"Hm, baiklah. Mungkin Kak Ratu bisa menemaniku."

"Kau mengenal dia? T-tunggu, kau mau mengajaknya?" tanya Aulia.

"Tenang saja, waktu aku ke tempat itu untuk pertama kalinya aku juga melihatnya."

Aulia yang ingin meminta penjelasan mengapa Anjani pergi ke tempat itu dan beberapa pertanyaan lainnya langsung bungkam. Ia sepertinya sudah lelah menghadapi teman barunya yang rupanya lebih kalem dari Tiara.

•••

"Membeli cermin? Mengapa sangat tiba-tiba?" tanya Ratu seraya terheran-heran. Karena alih-alih membeli barang lain, Anjani malah ingin membeli cermin, dan hanya menginginkan barang itu.

"Salah satu teman sekolahku yang menanyakannya. Kurasa ia menyindirku, tapi aku tak tersinggung akan hal itu."

Ratu tertawa. "Kau orangnya benar-benar … sederhana, mungkin? Pastinya orang-orang yang disindir seperti itu akan marah."

"Dari sindirannya, aku mendapati bahwa ia memperhatikan penampilanku."

Ratu tertawa seraya menggeleng mendengar itu.
Ratu telah menyetujui permintaan Anjani untuk menemaninya membeli cermin. Mereka melewati Hutan Arkais sebagai jalan pintas. Ratu sendiri memang sering melewati tempat itu agar bisa sampai ke tempat perdagangan tersebut.

Sembari berjalan di bawah rimbunnya dedaunan Hutan Arkais, mereka mengobrol hingga tak terasa sudah sampai di ujung hutan.

Pemandangan di sana cukup berbeda dengan di desa. Jalanan di tempat ini sudah diaspal. Banyak sekali toko-toko di sana yang mengakibatkan kebisingan dari para manusia yang tengah berbelanja.

Ratu membawanya ke salah satu toko yang menjual beberapa cermin.

"Aku akan pergi ke tempat lain, nanti kita bertemu kembali di sini, ya," ujar Ratu yang langsung diangguki oleh Anjani.

Anjani melihat-lihat cermin yang ada di toko itu. Ayahnya memang telah memberikannya sejumlah uang untuk membeli beberapa barang yang ia mau, pastinya tidak untuk dihambur-hambur atau membeli yang tidak berguna.

Karena itu, jika Anjani telah membeli apa yang ia mau, ia akan langsung pulang.

Ada toko material yang rupanya menjual beberapa cermin. Disaat sedang melihat-lihat, matanya tak sengaja melihat dua orang pekerja membawa sebuah cermin yang cukup besar dari toko itu.

Kilatan cahaya yang dipantulkan cermin itu menarik Anjani. Cermin itu memiliki ukiran yang elok, bergaya kuno. Tanpa ia sadari, kakinya mulai melangkah ke arah dua orang pekerja itu.

"Permisi, ada seseorang yang telah membeli cermin itu?" tanya Anjani.

Salah seorang pekerja tersebut mengalihkan pandangannya ke arah Anjani. "Uh, tidak. Sebenarnya kami mau membuangnya."

Sebelum Anjani bertanya lagi, pekerja yang satunya langsung menyahut.

"Banyak kejadian aneh di saat para pengunjung menatap cermin ini."

Anjani menghela napas. Alasan macam apa itu? Tak masuk akal, batin Anjani.

"Bisakah aku memilikinya? Daripada dibuang," pinta Anjani.

Pekerja itu mengangkat sebelah alisnya, terkesan meremehkan. "Boleh saja, sih. Tapi memangnya gadis kecil sepertimu bisa mengatasinya?"

"Mengatasi bagaimana?"


"Banyak, lho, orang-orang yang mengaku melihat penampakan makhluk seram saat becermin di sini, meski hanya sekilas. Ya 'kan, Sep?"

Orang yang dipanggil 'Sep' itu mengangguk mengiyakan.

Anjani menghela napas. Ia pikir orang-orang di sini bisa sangat ketakutan hanya karena hal semacam itu. Benar-benar konyol.

"Hanya sekilas, 'kan?"

Pekerja itu mendecak. "Kami tetap akan membuangnya."

"Aku bayar bila kalian membawakan cermin itu ke rumahku."

Kalimat itu berhasil membuat pekerja itu saling menatap kebingungan. Mereka memang tak dibayar untuk ini, tetapi setidaknya mereka bisa mendapat sedikit keuntungan dari penawaran Anjani. Akhirnya pekerja yang belum diberitahukan namanya itu mengangguk. Pekerja yang dipanggil 'Sep' hanya bisa mengikuti apa yang telah menjadi keputusan teman kerjanya itu.

"Setuju, tapi aku sudah memperingatkanmu."

Ratu telah selesai membeli kebutuhannya. Begitu ia menemui Anjani, wanita berkacamata itu bingung lantaran Anjani kelihatan tak membawa apapun, termasuk sebuah cermin yang ingin dibelinya.

"Kau belum membeli apapun?" tanya Ratu.

"Sudah, mereka akan mengantarkannya ke rumahku," jawab Anjani. "Kak Ratu keberatan? Sini, biar aku bantu."

"Ah, tentu. Terima kasih!"

Sebenarnya Anjani telah menimbulkan masalah saat ia membeli cermin tadi. Ya, ia memberikan uang kepada dua pekerja itu agar mau menuruti kemauannya, dan atasan mereka tak akan pernah tahu soal itu.

Setidaknya, Anjani telah mendapatkan sebuah cermin gaya kuno yang indah.

Namun, mungkin ia tak tahu. Ia kelak harus menghadapi sebuah masalah besar yang baginya tak masuk akal.

•••
Presented by Room Genre THM,
yang diketuai oleh Daratale

Judul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang