22

10 1 0
                                    

PEPOHONAN menjulang tinggi di hutan Arkais. Sekarang untuk kedua kalinya, Anjani menginjakkan kaki di hutan ini, bedanya dengan perasaan agak takut.

Angin dingin berembus dengan nakal, membuat Anjani semakin merinding dengan baju lumayan basah yang melekat di tubuhnya. Ia merapatkan jaket milik Angkasa yang disampirkan di punggungnya. Angkasa tak merasa keberatan bila jaket itu juga basah karena baju Anjani.

Aulia mengulurkan tangannya ragu, hendak meraba sedikit tembok berbatu yang sudah termakan usia. Tembok itu merupakan dataran yang lebih tinggi dari dataran tanah basah yang dipijaknya sekarang.

"Tempat ini … seolah bersatu dengan alam karena jarang ada orang-orang mendatangi tempat ini," komentar Aulia.

"Hmm, kupikir itu karena ulahmu yang menyebarkan rumor bahwa tempat ini angker," sahut Angkasa. Rupanya, lelaki itupun mengetahui soal rumor ini—ah tentu, karena adiknya adalah Aulia yang pasti pernah bercerita soal tempat ini.

"Bukan aku yang menyebarkannya!" sangkal Aulia dengan kesal.

Tempat yang bersatu dengan alam karena jarang didatangi orang yang mungkin memercayai rumor, batin Anjani.

Anjani rasa, ia berhasil mengambil kesimpulan akan tempat ini lewat pandangannya sendiri. Tetapi, ia memilih untuk fokus mencari sumur yang ada di mimpinya.

Mereka sampai di sebuah tangga, dari batu, dengan pegangan dari kayu, sama seperti tembok yang dilewati mereka bertiga sebelumnya, 'dimakan usia'. Lumut dan tumbuhan kecil muncul dari retakan yang ada pada batu dan kayu tersebut.

"Kalau tak salah, sumur itu harus melewati tempat ini dulu. Kalau tak salah, sih." Aulia mencoba mengingat-ingat. Sebetulnya, tentu Aulia pernah memasuki hutan ini, meski dengan perasaan takut yang sama. Ia dan anak-anak lain yang merupakan teman bermainnya, pernah kemari beberapa tahun silam karena penasaran akan rumor bahwa hutan Arkais adalah hutan angker, sayangnya bahkan Aulia dan teman-temannya tak berani menelusuri hutan ini lebih jauh lagi.

"Baiklah, ayo," ajak Angkasa. Anjani hanya mengiyakan. Bila sumur itu tak ada di hutan Arkais atau bahkan bila ia tak sampai menemukan sumur itu, Anjani hanya berharap hantu cermin tak menangkap dan merasukinya lagi. Ditambah, Anjani masih ragu apakah cara ini akan berhasil membuatnya keluar dari permainan menyeramkan hantu cermin.

Anjani ingat, hari pertama ia menginjakkan kakinya di desa ini. Masa-masa yang indah dan tenang sebelum hantu cermin membawa ketakutan ke dalamnya.

Waktu itu, kali pertamanya Anjani bertemu dengan Ratu. Anjani pernah menaiki tangga tersebut dan melihat keadaan di sekelilingnya, tetapi hanya sebentar karena Ratu bilang tak ada apapun di sana. Anjani juga ingat bahwa Ratu pernah bilang kepadanya untuk berhati-hati terhadap yang tak terlihat—pastinya yang dimaksudnya adalah makhluk halus.

Dan yang terjadi setelahnya, karena rasa penasaran, Anjani memaksa makhluk halus itu keluar dari tempatnya dan menghantuinya. Maka dari itu, Anjani harus menyelesaikan masalahnya sekarang.

Melangkahkan kaki, Anjani menemui tempat baru yang belum pernah ia lihat. Suasananya masih sama, dataran tanah berumput pendek seolah terpangkas dinaungi hutan yang rindang.

Anjani tertegun. Setelah jauh kakinya melangkah di tempat itu, ia menyadari sesuatu.

Tempat ini adalah tempat yang sama seperti di mimpinya!

Tak dapat dipungkiri … tempat ini adalah tempat yang sama seperti di mimpiku berminggu-minggu lalu!

Anjani mendongak. Sinar matahari yang sedikit muncul di sela-sela dedaunan mengingatkannya akan cahaya bulan di mimpinya.

HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang