15

6 2 0
                                    

MATAHARI sudah tenggelam. Langit jingga itu kini digantikan langit yang hitam bersih dihiasi bulan yang bersinar diantara kegelapan. Anjani bingung, apakah karena ekskulnya ia bisa pulang selambat ini ataukah perjalanannya saja yang benar-benar memakan banyak waktu?

Angin berembus cukup keras, mengakibatkan bunyi gemerisik dari daun-daun di pohon. Keheningan yang dingin menggantung. Suara derap kaki Anjani terdengar menggema karena keheningan itu.

Setelah berpisah dengan Angkasa, kini Anjani dihadapkan dengan kegelapan jalan menuju rumahnya. Hal yang membuat keadaan jalan menuju rumahnya tak ramai adalah karena rumahnya terletak di ujung, jauh dari pusat pemukiman.

Meski waktu sudah berlalu, ketakutan Anjani bukannya semakin menghilang, kini malah semakin besar karena dihadapkannya Anjani dengan kegelapan.

Pikiran buruk mengusik Anjani. Ia selalu berpikir bila ada Hantu Cermin ataupun Mahkluk Besar itu di belakangnya ataupun di sudut-sudut gelap yang tak pernah ia sangka.

Berkali-kali Anjani membatin kepada dirinya sendiri agar tak memikirkan hal-hal buruk. Sayangnya, Anjani tetap tak dapat menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu.

Tanpa sadar, Anjani mulai melangkahkan kakinya lebih cepat. Jantungnya berdebar.

Anjani tahu, ini hal konyol yang kesekian kalinya ia lakukan. Ia berlari tanpa alasan yang jelas, tetapi hatinya selalu membisikinya bahwa Anjani sedang berada dalam bahaya, karena itulah pikirannya seolah memberi sinyal agar Anjani mempercepat langkahnya.

Hanya ada bulan yang menerangi jalannya, tetapi hal itu tak membuat ketakutannya surut.

Anjani berlari, napasnya terengah-engah. Rumahnya sudah di depan mata, tetapi ia membatalkan niatnya untuk masuk ke rumahnya sendiri saat melihat sepatu di depan rumah Ratu. Anjani pikir, sendirian di rumahnya akan lebih ketakutan, jadi mungkin ia akan meminta Ratu untuk menemaninya.

Anjani tiba di depan pintu rumah Ratu, dengan tergesa ia mengetuk pintu rumah Ratu.

"Kak Ratu."

Anjani memanggil sang pemilik rumah. Namun, tak kunjung mendapat balasan.

Anjani merasakan hawa dingin yang seolah semakin mendekat ke arahnya. Perasaannya mulai tak enak. Dalam hati, Anjani mensugesti dirinya sendiri agar jangan menoleh ke belakang apapun alasannya. Karena, ia memiliki firasat bahwa ada seseorang—mungkin lebih pantas disebut sesosok mahkluk, sebab Anjani tak tahu pasti apa itu—di belakangnya.

Namun, apapun itu yang menurutnya seram pasti berhubungan dengan Hantu Cermin. Meski hanya seorang hantu anak kecil, Hantu Cermin mempunyai sisi terseramnya sendiri selain luka di wajahnya.

Hantu Cermin tak pernah mengeluarkan suara sama sekali, hal itu tentu menyeramkan karena bila ia ada di sekeliling Anjani, Anjani tak akan mengetahui di mana tepatnya ia berada.

Hawa dingin itu semakin mendekat, semakin kuat, membuat bulu kuduk Anjani merinding. Anjani mengetuk pintunya seraya memanggil-manggil nama Ratu.

Jantungnya berdebar. Anjani menelan ludah. Dalam hati ia berharap Ratu membuka pintunya sesegera mungkin.

Hingga, tiba-tiba sebuah uluran tangan menyentuh pundaknya dengan sangat pelan. Hal itu membuat Anjani berteriak tertahan seraya menoleh ke belakang dengan cepat untuk menepis tangan itu.

"Ah—"

Anjani mendapati Ratu menatapnya dengan tatapan terheran-heran. Anjani pun sama herannya, tetapi debar jantungnya sekarang berangsur-angsur normal karena kelegaan.

"Ada apa Anjani? Kelihatannya kau tergesa-gesa sekali."

Meski baru saja ditepis tangannya, dan bahkan pintu rumahnya diketuk dengan tergesa—ditambah tak sopan mengetuk dengan terburu-buru— oleh Anjani, Ratu masih menyunggingkan seulas senyum tulus.
Anjani memerhatikan Raru. Perempuan berkacamata itu memakai baju rumah, ia menenteng sebuah kantung plastik berisi makanan ringan. Selain itu, ia memakai sendal jepit.

"A-aku … takut sendirian di rumah."

Anjani sedikit melirik keadaan rumahnya yang berada tepat di seberang rumah Ratu. Ratu melihat ke arah yang sama.

Ratu ber-oh pendek. "Ayahmu memang jarang sekali pulangnya, ya? Kalau tak salah, seminggu hanya sehari dua hari."


Anjani mengangguk mengiyakan. "Maaf karena mengetuk pintumu dengan tergesa-gesa tadi."

"Tak apa-apa," balas Ratu ramah. "Omong-omong, kalau kau takut sendirian menginap saja di rumahku."

Anjani terkesiap. "Boleh?"

Anjani awalnya memang berniat untuk meminta Ratu untuk menemaninya, tetapi ia tak menyangka dengan ramahnya Ratu akan menawarkannya untuk menginap di rumahnya.

"Tentu saja, tetapi sebelum itu lebih baik kau mengganti bajumu dulu. Akan aku temani untuk mengambilnya."

Ratu memerhatikan Anjani yang masih memakai seragam. Tentu, dengan pandangan heran karena seorang anak kelas 1 SMP bisa pulang selarut ini karena sekolah.

Anjani ingin menolak dan memilih untuk meminta Ratu menemaninya di rumahnya saja, tetapi Anjani takut Ratu keberatan akan hal itu, ditambah rumah Anjani sendiri masih mengingatkannya akan mimpi buruk itu.

~~~

Pagi harinya berjalan seperti biasa. Ratu benar-benar membuat Anjani melupakan akan ketakutannya. Kemarin malam mereka mengobrol banyak dan memasak makan malam bersama.

Sebelum pergi sekolah, saat Anjani bersiap, Dani meneleponnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang. Dani juga memberi tahu bahwa Ratu meneleponnya kemarin malam dan mengatakan bahwa Anjani terlihat ketakutan serta harus sering ditemani.

Banyak hal yang telah dilakukan Ratu kepadanya. Anjani rasa, ucapan terima kasih saja tak akan cukup untuk membalas kebaikannya. Mungkin Anjani akan memberikan salah satu biku fiksi kesukaannya kepada Ratu karena mereka sama-sama suka membaca.

"Kau kelihatan lebih segar, lho." Tiara tersenyum kepada Anjani. "Berbeda dengan kemarin."

Anjani terkekeh. "Sudah kubilang, aku memang butuh waktu. Dalam sehari pun aku bisa berubah, 'kan?"

Tiara mengangguk. "Semoga saja Aulia bisa sepertimu. Daritadi ia selalu menangisi nilainya."

"Aku tak menangis!" sangkal Aulia.

Seperti biasa, siang hari Anjani, Aulia dan Tiara pulang bersama-sama.

"Padahal nilai ulangan matematikamu, kan, 85.  Paling bagus di kelasmu," ujar Tiara.

"Iya, tetapi nilaimu jauh lebih besar dibanding nilaiku," balas Aulia tak terima.

Anjani tahu bahwa Tiara mendapat nilai sempurna dalam ulangan matematika kelas 7. Anjani sendiri merasa bersyukur karena nilainya lumayan bagus meski lebih rendah jika dibandingkan dengan kedua temannya. Tapi itu bukanlah sebuah masalah besar bagi Anjani, karena ia lebih unggul di bidang lain, tepatnya bahasa.

"Selain itu Mela menyebalkan sekali," rutuk Aulia dengan wajah sangat kesal.

Tiara menghembuskan napas. "Jangan pikirkan dia."

Anjani berjalan sambil memerhatikan langit yang sekarang warna birunya mulai memudar. Padahal baru akhir Agustus, tetapi kelihatannya sudah ada tanda-tanda musim hujan akan datang.

Mata Anjani tak sengaja menatap rimbunan pohon yang berada cukup jauh dari tempatnya berpijak. Anjani sudah tahu bahwa itu Hutan Arkais. Rasanya, sudah cukup lama ia tak membicarakannya dengan Aulia dan Tiara.

Meski masih menjadi misteri apakah hutan itu berhubungan dengan Gadis Cermin, Anjani memutuskan untuk tak mencari tahu.

Setelah ini, Anjani pikir ia akan terus menyembunyikan cerminnya dan tak mengulangi kesalahan yang sama dengan memandang cermin itu. Anjani sendiri tak pernah menyangka, rasa penasarannya saat pertama kali ia melihat cermin kuno itu dapat membuatnya jatuh ke dalam lubang ketakutan.

Ditambah, Anjani tak akan menceritakannya kepada siapapun. Ia takut seseorang yang mengetahui tentang ini akan menjadi korban selanjutnya dari teror cermin itu.

Untungnya, sudah selesai, batin Anjani.

"Kami duluan, ya," pamit Tiara mewakili ia dan Aulia. Jalan yang harus dilalui Anjani memang berbeda dengan jalan menuju rumah Aulia dan Tiara.

Anjani mengangguk. "Sampai jumpa."

Di saat sudah sampai di teras rumahnya. Ia melihat sepatu ayahnya. Tentu, Anjani bahagia karena ayahnya bisa menyambutnya pulang hari ini.

"Aku pulang."

"Ah, Anjani sudah pulang rupanya. Selamat datang, ayah baru saja memasakkan—"

Kata-kata Dani seolah teredam di pendengaran Anjani. Karena kini Anjani sedang berfokus terhadap pandangannya yang menangkap sesuatu yang tak asing baginya.

Lututnya langsung melemas, pandangannya memburam sedikit, tetapi tak lama kemudian pulih lagi, dan sebuah benda yang Anjani tak harapkan ada masih berada di tempat yang sama. Yang berarti, apa yang ia lihat bukanlah sebuah imajinasi.

Anjani tak percaya saat melihat cermin kuno iru ada di ruang tengah!

•••
Presented by Room Genre HTM,
yang diketuai oleh Daratale

Judul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang