SETELAH membantu Dani dan Sahya—ayahnya dan supir tadi—Anjani memutuskan untuk berjalan-jalan keluar, mengelilingi lingkungan rumah barunya.
Pagi hari di desa terasa sangat hidup bagi Anjani, udara segar menyelimutinya bersamaan dengan cahaya matahari yang menghangatkannya.
Orang-orang terlihat beraktivitas di luar ruangan pagi ini, seperti ibu-ibu yang menjemur pakaian atau menyuapi anaknya yang sedang bermain di luar. Anjani sedikit heran akan hal tersebut namun, ia tidak terlalu memikirkannya, mungkin orang-orang di sini sudah terbiasa melakukan itu.
Kakinya yang dialasi sepatu kebesaran milik ayahnya, terus berjalan menuju sebuah tempat yang belum pernah ia temui. Semakin jauh ia berjalan, pemandangan mulai berubah namun, tentu saja itu sangat indah bagi Anjani yang selama ini hidup di antara gedung, polusi, dan mobil-mobil mewah di kota.
Hingga, ia sampai di sebuah tempat yang menurutnya menakjubkan. Matanya dimanjakan oleh sebuah hamparan sawah yang begitu indah dengan sebuah gubuk kecil di tengah-tengahnya.
Sembari memerhatikan para petani yang bekerja, Anjani duduk di dataran yang lebih tinggi, di atas rumput yang dipangkas pendek, menikmati hawa segar di sana.
Tanpa sadar, ia mulai memejamkan matanya perlahan. “Benar-benar sebuah ketenangan yang indah,” batinnya.
Anjani benar-benar menikmati bagaimana angin yang seolah membelai lembut rambutnya, cahaya matahari yang memeluknya menyalurkan kehangatan, serta aroma khas yang menyejukkan dari tumbuhan di sekelilingnya.
Gadis itu merasa sudah lama tidak merasakan perasaan setenang ini.
"Sunyi, benar-benar sebuah ketenangan yang indah," batinnya lagi.
Matanya masih terpejam dengan damai. Pikirannya mulai melayang, mengingat kembali salah satu memori lama yang benar-benar akan selalu ia ingat.
Bagai sebuah layar lebar di dalam pikirannya sendiri, Anjani melihat seseorang yang ia rasa tak asing, berbalik mengarah ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Namun, sebuah hal tiba-tiba terjadi, layar lebar yang menampilkan senyuman itu mendadak berubah menjadi kegelapan total, digantikan dengan ingatan lain di mana menampilkan layar yang bewarna biru gelap.
Anjani membuka matanya. Dengan cepat, ia menoleh ke belakang dan hampit memekik begitu mendapati seseorang tengah berjalan ke arahnya.
Orang itu adalah Sahya, yang juga sama terkejutnya. "Duh, bikin kaget saja!"
"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Anjani.Dalam hati, Anjani sedikit kebingungan, bagaimana bisa pria itu bisa sampai di sini dalam waktu yang bersamaan dengan Anjani? Padahal mungkin, seharusnya ia sedang kelelahan karena menyupiri mobil dan membantu ayah memindahkan barang tadi.
"Tentu saja ke sawah, memangnya mau apa lagi? Main bola?" candanya sambil terkekeh kecil. "Mau ikut?"
Anjani menggeleng, ia melihat ke sawah yang berada di dataran lebih rendah dari tempatnya berada. Satu-satunya jalan menuju ke sawah tersebut merupakan gundukan tanah yang dibentuk sedemikian rupa menjadi seperti tangga. Terjal dan sangat curam, Anjani takut hal buruk terjadi.
"Tidak usah," tolak Anjani.
"Yakin tak mau ikut? Ngomong-ngomong, mengapa kau memakai sepatu kebesaran itu?" tanya Sahya, memerhatikan sepatu yang dikenakan Anjani, terheran-heran.
"Sepatu ini milik ayah, mungkin nanti aku akan memintanya untuk membelikanku sandal," jawab Anjani. "Asal bisa dipakai, jadi kupakai saja."
Sahya terkekeh. "Anjani tak banyak mau, ya. Beda dengan Silfi."
"Anak Paman?" tanya Anjani.
Sahya mengangguk.
"Kalau begitu, Paman pergi ke bawah dulu, ya. Kamu hati-hati kalau masih mau di sini, jangan sampai jatuh." Sahya pun beranjak pergi, menapaki tangga tanah di bawahnya dengan berhati-hati.
Anjani mengangguk singkat.
Gadis itu sebetulnya baru tahu kalau pria berkepala tiga itu pernah berteman dengan ayahnya semasa kecil di tempat ini. Mungkin saja itu adalah alasan mengapa Sahya terlihat sangat baik kepada Anjani, meski gadis itu bersikap datar dan dingin.
Anjani masih terduduk, menikmati pemandangan, hingga akhirnya ia pun merasa bosan. Sebetulnya, Anjani sendiri kerap merasa takut jika ingatan itu kembali hinggap di kepalanya.Di mana … di ingatan tersebut, hanya warna biru gelap lah yang menghiasi.
Anjani bangkit dan memutuskan untuk melanjutkan menelusuri desa. Ia mengabaikan matahari yang mulai terik, karena begitu banyak tempat baru yang membuatnya merasa tenang.
Hingga sampailah ia di sebuah tempat di mana mulai jarang terlihat warga desa yang melintas. Anjani tidak memikirkan hal itu lebih lanjut, karena ia menduga bahwa hal itu lumrah mengingat hari mulai beranjak siang, maka orang-orang pun memilih diam di rumah, menghindari sengatan sinar ultraviolet.
Jalanannya masih berupa tanah yang berumput pendek, dan di sampingnya terdapat dataran yang lebih tinggi. Dari sudut pandang Anjani, dataran itu terlihat seperti tembok berbatu yang sudah ditumbuhi lumut karena dimakan usia.
Pepohonan di tempat ini jauh lebih rindang. Hal itu menyebabkan hanya sedikit cahaya matahari yang berhasil menembus dedaunan dan menyentuh tanah. Maka angin pun terasa berembus kencang.
Mulanya Anjani ragu karena jauh di pelataran sana, ia tidak menemukan eksistensi satu orang pun. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, Anjani tidak melihat satupun tanda larangan atau peringatan sebelum datang ke tempat ini.
Maka, ia pun memasukinya.
Keyakinan Anjani semakin kuat begitu ia menenukan jalanan setapak yang seolah-olah dibuat sengaja untuk jalur lintas warga.
“Sayang banget, tempat seadem ini sepi penduduk,” gumamnya seraya terus mengikuti jalan setapak itu.
Setelah sekian lama berjalan, ia menemuka fakta bahwa jalanan setapak itu mengarah ke dataran yang lebih tinggi. Dilihatnya sebuah tangga yang terbuat dari batu, dilengkapi dengan pegangannya yang terbuat dari kayu. Sama-sama dimakan waktu, kedua bahan pembangun utama itu pun ditumbuhi beberapa tumbuhan kecil yang muncul diantara retakan batu maupun di kayunya.
Anjani mendongak, memperhatikan ujung dari tangga itu. Sebelum ia melangkahkan kaki hendak menaikinya, tiba-tiba terdengar sebuah suara.
"Di atas sana tidak apa-apa.”
Anjani menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang wanita muda—yang Anjani tebak berusia kisaran dua puluh tahunan—menghampirinya dari arah yang berlawanan dengan arah datangnya Anjani.
Dengan kacamata tebal yang melorot di hidung, wanita itu tersenyum. "Kelihatannya, kau orang baru di sini, ya?"
Anjani mengangguk, kemudian bergerak menaiki tangga batu tersebut tanpa mempedulikan eksistensi wanita itu.
Namun, seperti apa yang wanita itu katakan, di sana tidak ada sesuatu yang menarik selain pemandangan yang sama dengan yang sudah Anjani temui.
"Ngomong-ngomong, kalau tak salah, ada orang baru dari gang yang sama denganku. Jangan-jangan itu kau, ya?” simpul wanita itu. “Mau mampir ke rumahku?"
Anjani berpikir selama beberapa saat. Ia manusia, butuh sosialisasi. Tidak selamanya ia akan hidup menyendiri. Apa lagi, ia warga baru di sini, dan tidak Anjani pungkiri, ia sangat membutuhkan kehadiran seorang teman.
Maka dari itu, ia pun mengangguk.
Anjani merutuk kebodohannya karena hampir melupakan jalan pulang ke rumah barunya. Kehadiran wanita muda itupun menjadi sebuah keberuntungan tersendiri bagi Anjani.
"Namaku Ratu. Kau?" tanya wanita itu.
"Anjani," jawab Anjani singkat.
Selama perjalanan pulang, mereka berbincang singkat, sampai akhirnya terkuak fakta bahwa mereka bertetangga.
Dari pertemuan pertama, Anjani menyimpulkan Ratu adalah pribadi yang baik dan sabar. Pasalnya, Ratu tampak tidta terganggu dengan sifat dingin Anjani.
"Oh, ya, Anjani. Lain kali kalau berpergian kau harus ditemani seseorang yang sudah lama tinggal di sini, ya,” pesan Ratu.
"Memangnya kenapa?" tanya Anjani heran.
Ratu memandang kosong ke depan, dan Anjani tidak mengetahui apa yang sedang Ratu pikirkan.
"Pokoknya harus. Kau, kan, orang baru, masih awam soal tempat-tempat di sini,” jawab Ratu, terdengar lebih serius dari biasanya. “Jangan sampai kau berada dalam bahaya.”
"Bahaya … dari apa?"
"Dari yang tak terlihat."•••
Presented by Room Genre THM,
yang diketuai oleh DarataleJudul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: PenaskyeFINAL PROJECT GEN 1
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDE AND SEARCH!
HorrorCermin baru itu membawa petaka bagi hidup Anjani yang tenang. Siapa sangka cermin indah itu menyimpan arwah hantu anak kecil yang mengajaknya bermain petak umpet seumur hidup. Anjani terpaksa bermain petak umpet sepanjang hari. Hidup Anjani semakin...