ANJANI tak ambil pusing soal cermin itu. Ia tetap menyimpannya meskipun Aulia menyarankannya untuk membuangnya.
Lagi pula, hanya Aulia yang melihatnya, sementara Tiara tidak, batinnya.
Setelah kejadian itu, Aulia langsung pamit pulang karena merasa sarapannya sudah naik ke tenggorokannya. Ia tak ingin merepotkan Anjani bila mendadak ia muntah karena telah melihat darah.
Sementara itu, setelah membantu Anjani, Tiara juga pamit pulang. Gadis itu bilang ia memang harus membantu ibunya setelah ini, sekaligus mengecek keadaan Aulia karena rumah mereka berdekatan.
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, rumah Anjani kembali kosong setelah kepergian Aulia dan Tiara.
Dani sendiri sudah pergi dari pagi buta, tentunya ia melakukan itu agar ia dan Anjani bisa tetap hidup. Anjani sendiri tak bisa menyalahkan Dani yang akhir-akhir ini sibuk bekerja, karena jika Dani mengorbankan waktu bekerjanya demi Anjani, mereka takkan bisa hidup.
Setelah bosan membaca buku di ruang atas, Anjani pun turun ke lantai bawah untuk melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kesendiriannya di rumah.
Anjani mengambil gunting dan berjalan ke arah cermin.
Anjani akan melakukan apa yang menjadi tujuannya membeli cermin, yaitu mengubah penampilan. Ia tergerak untuk melakukan ini berkat sindiran teman sekelasnya saat hari pertama sekolah.
Mungkin sudah sekitar tiga tahun rambutnya tak terawat lagi. Panjangnya sudah mencapai punggung, selain itu poninya juga sudah menutupi sebagian wajahnya.
Bingung akan memotongnya seberapa panjang, Anjani memutuskan untuk menyisir rambutnya terlebih dahulu.
Di saat Anjani hendak berbalik untuk mengambil sisir yang berada di kamarnya, ekor matanya menangkap sesuatu yang janggal dari arah cermin. Anjani tak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi sekilas ia melihat warna merah mendominasi cermin. Di saat ia menoleh dengan cepat ke arah cermin, tak ada sesuatu yang aneh di sana selain bayangan yang dipantulkan cermin itu.
"Ah, mungkin aku berhalusinasi karena cerita Aulia tadi," gumamnya seraya menggeleng kecil.
Selepas mengambil sisir dari kamarnya, Anjani pun kembali bercermin sembari menyisiri rambutnya perlahan. Agak sulit, karena mungkin setelah sekian lama tak mempedulikan rambutnya, kini surai hitam itu memberontak dengan menjadi kusut.
Meski hanya sekadar menyisir rambut, nyatanya hal itu membutuhkan waktu yang lama bagi Anjani. Berkat ketabahannya, ia berhasil menaklukan surai hitam itu.
Akhirnya, setelah dirasa cukup rapi, Anjani memotong rambutnya mulai dari poni terlebih dahulu. Mengukurnya dengan sisir, ia akan memotong sedikit terlebih dulu. Berjaga-jaga, bila ia memotong terlalu banyak pastinya ia akan menyesalinya.
Tangan Anjani agak bergetar. Ia tak pernah memotong rambut sebelumnya. Bila ia membuat kesalahan dalam memotong rambutnya, maka akan menjadi sebuah masalah baginya meski ia tak terlalu mempedulikan penampilannya.
Anjani mendekatkan wajahnya ke cermin. Manik cokelatnya menatap bayangannya di cermin dengan seksama. Tanpa ia sadari, bayangan miliknya di cermin mulai berubah.
Bayangan mata Anjani di cermin perlahan berubah, menjadi sepasang mata yang menatapnya tajam, haus akan sesuatu, sementara wajahnya dipenuhi oleh darah yang mengalir.
Jantungnya berdetak lebih keras saat Anjani menyadarinya. Napasnya tertahan sementara ia menjauh dari cermin dan menjatuhkan kedua benda di tangannya—gunting dan sisir.
Dengan cepat, Anjani menjauhkan wajahnya dari cermin. "A-pa?"
Anjani menatap dirinya sendiri yang terkejut di cermin. Ia menghembuskan napas.
Apa-apaan tadi? Rasanya sangat … nyata, batin Anjani. Tangannya bergetar lebih parah dibanding saat ia memegang gunting tadi. Bulu kuduknya merinding, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat.
Mata serta darah yang menutupi wajah tadi, semuanya terekam dalam ingatan Anjani, dan di pikirannya saat ini pun tentang bayangan di cermin itu.
Apa itu? Apakah itu hanya halusinasiku? Apakah mahkluk itu adalah mahkluk mistis yang sering dibicarakan Aulia? Apa Aulia memang berkata jujur saat melihat orang di dalam cermin ini? Perkataan para pekerja itu … rupanya benar?
Anjani berlari ke kamarnya, menyibak selimut sebelum memasukinya.
"Kenapa sekarang aku malah ketakutan begini?" gumam Anjani. "Benar-benar tak masuk akal."
Anjani berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang ia lihat tidaklah nyata. Semua perkataan orang-orang di sini mulai dari Ratu, Aulia, dan para pekerja itu semuanya hanyalah rumor yang dibesar-besarkan baginya.
Harusnya Anjani tak perlu takut.
Anjani menetralkan napasnya sembari mengulang-ulang kalimat seperti mantra.
Ini tidak nyata, ini tidak nyata.
Akhirnya, setelah Anjani cukup tenang, ia malah tertawa sendiri.
"Betapa konyolnya aku," kikiknya.
Anjani pikir, perkataan Aulia serta ekspresi ketakutannya tadi berhasil memengaruhinya. Masih menertawakan kebodohannya, ia pun keluar dari selimut dan mulai melipatnya. Ia kembali berjalan ke arah cermin.
Anjani tertegun, kakinya seolah tertahan sebelum ia benar-benar berada di depan cermin. Ia menelan ludahnya.
Anjani sendiri yang menahan kakinya, ada perasaan kuat yang seolah melindunginya dari cermin itu. Bisa dibilang, perasaan itu adalah rasa takut yang berusaha melindunginya dari sesuatu.
Anjani menutup matanya. Konyol, batinnya.
"Anjani!" Seseorang memanggilnya dari luar. Anjani menoleh dan mendapati Sahya di luar bersama seseorang.
"Iya?" tanya Anjani.
Anjani melihat seorang anak kecil berumur sekitar lima atau enam tahun digandeng oleh Sahya. Kemungkinan besar itu Silfi, putrinya Sahya.
"Ayahmu menitipkan beberapa bahan makanan kepadaku, kebetulan tadi kami habis dari pasar," ujar Sahya seraya memberikan sebuah kantong kresek berisi sesuatu—ada beberapa yang menyembul keluar seperti daun bawang dan lain-lain.
"Ah, iya, terima kasih," balas Anjani.
Sahya berjalan masuk ke dalam rumah, ia kelihatan bingung ketika melihat sebuah cermin di ruang tengah.
"Cermin baru? Aku tak pernah melihatnya sebelummya," ujar Sahya.
Anjani mengangguk sembari mengikutinya. "Aku membelinya kemarin."
"Kenapa kau menaruhnya di sini alih-alih di kamarmu?" tanya Sahya sambil memperhatikan cermin itu.
Pastinya, pria itu menganggap ukiran yang tak biasa pada cermin itu benar-benar indah. Sementara itu, Silfi masih setia menggandeng tangan Sahya sambil sesekali melirik Anjani dengan malu-malu.
"Agar … semua orang bisa memakainya," jawab Anjani seadanya. Ia melihat cermin itu dari jauh.
Dari sudut pandang Anjani, ia bisa melihat bayangan mereka bertiga di cermin itu. Tak dapat dipungkiri, selain indah, cermin itu juga lumayan besar. Karena itu, cermin ini terlihat seperti cermin mewah pada zaman kuno.
Anjani terkejut saat melihat ada sesosok makhluk menempati bayangannya. Tubuhnya lebih pendek dari Anjan—karena itu ia bisa melihat apa yang ada di belakangnya lewat cermin, padahal seharusnya ia tak bisa melihat karena terhalang oleh dirinya sendiri—lebih seperti seorang gadis kecil, tetapi dengan mata tajam, kulit pucat dan dahi terluka yang mengeluarkan darah. Darah dari luka menganga itu juga membanjiri bajunya.
Rajutan berbentuk kupu-kupu di sebelah kiri dadanya yang bewarna putih berubah menjadi merah karena dibanjiri darah yang tersebut. Seolah kupu-kupu itu tenggelam dalam lautan darah.
"Anjani?"
Panggilan Sahya menyadarkan Anjani. Dalam sekali kedip, bayangan anak kecil itu menghilang digantikan dengan bayangannya sendiri. Anjani menoleh ke arah Silfi, gadis kecil itu mengalihkan pandangannya karena malu.
Anak yang di cermin … bukan Silfi, ya? batinnya bertanya pada diri sendiri. Ia menggeleng. Tentu saja bukan, berarti … siapa?
"Kau kelihatan kelelahan, ya? Kalau dipikir-pikir, ini hari kedua kau libur sekolah. Manfaatkan, ya. Kalau begitu paman pergi dulu," pamit Sahya. "Ayo, Silfi! Beri salam pada Kak Anjani!"
•••
Akhirnya, Anjani memikirkan soal cermin itu, seperti yang ia katakan kepada Aulia tadi pagi.
Jam menunjukkan pukul enam sore, matahari mulai tenggelam menyisakan langit bewarna jingga yang perlahan meredup.
Anjani berdiri di depan cermin itu. Ia percaya bahwa ia telah berhalusinasi tentang apa yang ia lihat di cermin pada pagi tadi. Baginya, tak mungkin bila ada seseorang yang menggantikan bayangannya di cermin.
Benar-benar konyol! Tak masuk akal! Tak logis!
Anjani melakukan ini sebagai penentuan, apakah yang ia lihat benar-benar nyata, atau hanya halusinasi belaka karena ia kelelahan seperti kata Sahya?
Dani masih belum pulang, jadi ini saat yang tepat baginya. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Penentuannya akan dimulai!•••
Presented by Room Genre THM,
yang diketuai oleh DarataleJudul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: PenaskyeFINAL PROJECT GEN 1
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDE AND SEARCH!
HorrorCermin baru itu membawa petaka bagi hidup Anjani yang tenang. Siapa sangka cermin indah itu menyimpan arwah hantu anak kecil yang mengajaknya bermain petak umpet seumur hidup. Anjani terpaksa bermain petak umpet sepanjang hari. Hidup Anjani semakin...