14

11 1 0
                                    

ANJANI merasakan dirinya tersentak sangat keras sehingga ia terbangun dari tidurnya. Lagi-lagi, dengan napas yang tersengal, keringat dingin yang mengalir di pelipisnya dan jantungnya yang masih berdetak tak karuan.

Namun, gadis itu langsung merasa lega di dalam hatinya.

Hal yang dialaminya tadi hanyalah sebuah mimpi. Lagi-lagi mimpi buruk.

Ada rasa mengganjal di hatinya, dengan cepat ia menyibak selimut dan memeriksa telapak kakinya. Beruntung, kedua telapak kakinya masih baik-baik saja, tak ada luka karena menginjak kaca yang mencuat.

Anjani mengontrol napasnya. Rasa takut masih menghantuinya, terutama mahkluk besar yang kelihatannya berusaha membunuhnya itu masih terekam jelas di ingatannya.

Anjani masih tak mengerti mengapa mimpi buruk itu tiba-tiba menyerang tidur nyenyaknya malam tadi dari semua hari. Setelah dipikir-pikir, pastinya ada hubungannya dengan hantu cermin. Karena, di awal mimpi tersebut Anjani sedang berada di ruang atas. Ditambah, siang harinya ia tak sengaja melihat hantu cermin itu setelah sekian lama.

Napas Anjani kembali normal, tetapi pikirannya masih dihantui akan ketakutan. Mimpi tadi malam adalah mimpi terburuk yang pernah dialaminya. Anjani hanya berharap, mahkluk itu tak akan muncul di dunia nyata seperti gadis cermin.

Yamg hanya bisa Anjani lakukan sekarang hanyalah terus menyembunyikan cermin itu.

Suara Aulia dan ketukan di pintu depan berhasil membuat lamunannua terbuyar, tetapi di saat bersamaan ia juga terlonjak karena kaget.

Gadis itu ingat, pagi ini ia ada janji dengan kedua temannya, Aulia dan Tiara, untuk bermain di rumahnya.

Anjani berharap, dengan bermain perhatiaannya akan teralihkan. Namun, ia sendiri ragu karena rasa takut itu seolah masih mengintainya.

•••

"Anjani, apa kau sakit?"

Pertanyaan itu sudah berulang kali terdengar dari mulut orang-orang yang mihat penampilannya. Anjani lebih pucat, matanya seolah mati tetapi seringkali ia memandang sekitarnya dengan gelisah.

Semua pertanyaan itu hanya Anjani jawab dengan gelengan kepala yang singkat, tentu hal itu malah membuat orang-orang khawatir padanya.

Dibalik mata matinya itu, Anjani menyimpan sebuah ketakutan. Ia masih selalu merasa dihantui meski telah dua hari telah berlalu semenjak mimpi menyeramkan itu muncul.

Pandangannya selalu menunduk, tetapi di saat bersamaan ia takut bila mahkluk-mahkluk menyeramkan seperti hantu cermin maupun makhluk besar itu muncul.

Anjani pun tak bisa merasakan apapun selain ketakutannya. Ia tak lagi bisa memberikan seulas senyum—bahkan senyum tipis—karena selalu ketakutan. Hal itu membuatnya tersiksa.

"Kau tak akan memakannya?" tanya Aulia sambil menunjuk bekal Anjani yang makanannya tak tersentuh sama sekali semenjak ia membuka tutup bekalnya. Anjani menggeleng singkat. "Kurasa … tidak, aku tak begitu lapar."

Aulia, Anjani, Tiara serta dua teman sekelasnya tengah menikmati waktu istirahat di taman sekolah. Mereka juga menonton pertandingan sepak bola di lapangan yang dimainkan anak lelaki meski hari mulai beranjak siang.

Aulia memandang Tiara, memberinya kode bahwa ada yang tak beres dengan Anjani. Meski sejauh ini mereka berdualah yang paling dekat dengan gadis berwajah datar itu, nyatanya mereka tak tahu apa yang sebenarnya sedang Anjani alami.

"Hei, kalau kau sedang sakit atau bahkan memiliki masalah, beritahu saja pada kami," ujar Tiara yang langsung diangguki Aulia. "Kami akan dengan senang hati mendengarnya!" tambah Aulia.

Anjani pikir, ia tak memiliki masalah. Ia hanya ketakutan saja. Karena, cermin yang disimpan di kamar atas pun sudah cukup untuk menyelesaikan masalah soal hantu cermin atau makhluk besar itu. Kini, Anjani hanya butuh waktu agar ia tak ketakutan lagi dan belajar dari ketidaksengajaannya agar jangan sampai melihat cermin kuno itu lagi.

Anjani menggeleng. "Tak ada … sungguh. Aku hanya butuh waktu."

Lonceng berdenting keras, menandakan waktu istirahat telah usai. Masih merasa dihantui, Anjani pun bangkit dan berjalan menuju kelas. Suara-suara di sekitarnya tak dapat ia dengar dengan baik, seolah teredam. Pemandangan yang dilihatnya pun seolah bewarna pudar. Ia tak tahu sampai kapan ketakutan ini akan terus menyiksanya, tetapi Anjani harap semua ini akan cepat selesai.

•••

Anjani terpaksa pulang lebih lambat dari biasanya dikarenakan ekskul yang terpaksa ia ikuti. Aulia dan Tiara pulang lebih dulu, jadi Anjani sekarang harus pulang sendirian, ditemani rasa takutnya.

Langit jingga yang hangat kini terasa sangat menakutkan bagi Anjani. Entah mengapa, setiap saat selalu membuatnya merasa ketakutan.

Anjani mulai melangkahkan kaki, pulang ke rumahnya. Angin sepoi yang biasanya membuatnya tenang kini tak berarti apa-apa. Anjani masih terkurung dalam ketakutan.

Tiba-tiba saja, seseorang memanggilnya.

"Anjani."

Anjani segera menoleh dan mendapati Kapten Tim Sepak Bola di sekolahnya tengah memanggilnya. Butuh beberapa waktu bagi Anjani untuk mengingat namanya.

"Ah, iya. Angkasa." Anjani mengingatnya.

Lelaki yang menyelamatkannya sewaktu ia dikejar oleh hantu cermin ke sekolahnya. Kalau diingat-ingat, Anjani tak pernah berkenalan langsung dengannya. Lantas, ia bertanya-tanya mengapa Kapten Tim Sepak Bola ini bisa mengetahui namanya.

"Ya, Kak?" Alih-alih berhenti sejenak, mereka berdua malah berjalan beriringan.

Lelaki itu, Angkasa, menatapnya dengan heran. "Kau kelihatan kacau, seperti pertama kali kita bertemu."

Anjani menghela napas diam-diam. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan yang bermaksud sama itu.

"Aku memang selalu terlihat seperti ini, kok," ujar Anjani.

"Kelihatannya tidak," sangkal Angkasa seraya menggeleng pelan. "Kau terlihat berbeda dari biasanya, seperti saat aku menemukanmu kelelahan di perjalanan sekolah."

"Kenapa kau mengetahuinya? Kita 'kan baru bertemu dua kali."

Angkasa tertegun. Memang, tiga minggu terakhir gadis itu selalu menyita perhatiannya. Namun, tentunya ia tak akan mengatakan hal itu pada Anjani.

"Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi padamu waktu itu? Apa kau dikejar oleh seseorang sampai sekarang? Karena kelihatannya kau sangat mencurigakan."

Anjani berusaha mengalihkan pembicaraannya. Meski kelihatannya hanya Angkasa yang tahu bahwa tiga minggu lalu Anjani pernah bertingkah aneh dan hal itu terjadi lagi sekarang, Anjani tak akan menceritakan soal hal yang menimpanya karena ia tak begitu mengenal Kapten Tim Sepak Bola tersebut.

"Kalau begitu, dari mana kau mengetahui namaku?" tanya Anjani. Menanyakan hal yang membuatnya heran sejak awal.

"Aulia adalah adikku."

Anjani tak menyangka. Rupa-rupanya, Angkasa dan Aulia adalah kakak-beradik. Aulia tak pernah menyinggung-nyinggung bahwa Angkasa adalah kakaknya sebelumnya, yang pernah Aulia katakan hanyalah Angkasa adalah Kapten Tim Sepak Bola. Kalau dilihat-lihat pula, wajah mereka berdua sekilad terlihat sama, hal itu tentu menjadi masuk akal.

"Dan hal itu menjelaskan mengapa kau kelihatannya telah mengenalku saat aku bertemu tadi. Pasti Aulia 'kan yang memberitahunya?" lanjut Angkasa. Anjani mengangguk mengiyakan.

Keheningan menyelimuti mereka berdua sementara mereka mulai memangkas jarak menuju rumahnya masing-masing. Angkasa sebetulnya masih memiliki pertanyaan di dalam benaknya yang harus dijawab oleh Anjani.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Keheningan itu hilang saat Angkasa angkat bicara lagi. "Pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan 'kan?"

Angkasa tak berlebihan soal ini. Memang, Anjani hanyalah teman dari adiknya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang buruk menimpa Anjani. Seperti saat pertama kali mereka bertemu. Angkasa dapat melihat sebuah ketakutan yang amat bedar di manik cokelat Anjani. Bahkan, ada beberapa kejanggalan dari tingkah lakunya saat itu. Anjani seolah sedang dikejar oleh sesuatu. Karena itulah Angkasa berpikir Anjani sedang berada dalam masalah.

"Ya." Anjani menjawab jujur. Ada yang ia sembunyikan. Namun tentu, tak akan ia ceritakan.
Anjani tahu apa yang dimaksud Angkasa soal hal yang disembunyikan itu. Namun, mana mungkin ia menceritakannya pada Angkasa—orang yang baru dikenalnya.

Lagipula, seperti yang Anjani pikirkan sejak awal. Ia tak lagi memiliki masalah. Cermin yang menyimpan makhluk-makhluk aneh itu telah diamankan. Masalah beres. Yang Anjani butuhkan hanyalah waktu agar ia bisa pulih dari ketakutannya dan melupakan semuanya.

"Lalu apakah itu?" tanya Angkasa penasaran. Kelihatannya, Angkasa dan Aulia berbagi sifat yang sama sebagai adik-kakak. Mereka mudah penasaran.

"Semua orang tentunya punya hal yang disembunyikan untuk tujuan tak diketahui semua orang, 'kan?" balas Anjani.

"Ah, iya." Angkasa kehabisan kata-kata.

Langit jingga yang mulai menggelap masih terlihat pudar di pandangan Anjani. Tanpa sadar, ketakutan masih terpampang di wajahnya.

Anjani berpikir. Apakah hal yang ia sembunyikan ini harus selamanya disembunyikan?

Aulia dan Tiara pernah bilang bahwa jangan menyembunyikan dan memendam sebuah masalah sendirian. Mereka berdua juga yang memberitahu jika Anjani sedang dalam masalah, gadis itu bisa menceritakannya.

Namun, bila dipikir-pikir lagi, kelihatannya Anjani tak harus melakukannya. Seperti yang ia bilang. Ia hanya butuh waktu untuk melupakannya.

Namun, Anjani tak sadar bahwa hal yang disembunyikannya akan selalu menghantuinya.

•••

Seorang gadis kecil terlihat sangat bersemangat sembari menggamit tangan ibunya. Ibunya hanya bisa tersenyum melihat tingkah putrinya, hadiah pertama dari pernikahannya yang paling membuatnya bahagia.

Riuhnya kota pada pagi hari ini tak menghentikan semangat gadis kecil itu yang telah berkobar sejak ia bangun. Ini kali pertamanya ia pergi ke tempat selain kota yang padat.

Terlalu bersemangat, mungkin itu kata yang tepat. Pegangan tangan ibunya dilepas oleh gadis itu, kemudian ia berlari dengan bebas.

Hingga, saat ia menoleh ke belakang. Bukan senyuman ibunya lagi yang menyambutnya. Melainkan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.

Ibunya berada di genangan darah.


•••
Presented by Room Genre HTM,
yang diketuai oleh Daratale

Judul: HIDE AND SEARCH!
Penulis: SilverJayz_
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang