13

9 3 0
                                    

"KAK Anjani! Boleh aku minta kue lagi?"

Suara manis khas Silfi membuyarkan lamunan Anjani. Gadis tiga belas tahun dengan rambut sepunggung itu tertegun sebelum mengangguk mengiyakan.

"Tentu."

Setelah melayani gadis kecil itu, Anjani kembali berkutat dengan buku di pangkuannya.

Hari ini benar-benar hari yang menenangkan bagi Anjani. Sudah tiga minggu sejak ia dikejar hantu cermin itu, Anjani tidak lagi menemukan sosoknya di manapun. Hal itu karena Sahya membawa cermin itu ke lantai atas. Dengan tak ada yang melihat cermin itu, maka tak ada pula yang terkena teror, begitulah yang Anjani simpulkan.

Anjani tak ingin memikirkan hal itu lagi. Anjani pikir, mimpi buruknya telah usai dan kini ia bisa menikmati kehidupannya yang tenang tanpa bayang-bayang seorang gadis dengan darah yang membanjiri wajahnya.

Gadis itu pula membatalkan niatnya untuk berbicara dengan Tiara soal hantu cermin itu. Anjani pikir, untuk apa? Lagipula tak ada lagi hantu cermin yang menghantuinya.

Mimpi buruk itu telah usai. Aku tak perlu mengingatnya lagi. Selamanya, dan akan menyimpan cermin itu di sana agar tak ada seorangpun bernasib sama denganku.

Hari ini, katakan saja Anjani sedang mengasuh putri Sahya. Pria baik itu sedang ada urusan di hari Sabtu ini, sementara istrinya sedang mengunjungi kerabat jauhnya. Sahya yang menitipkan Silfi pada Anjani. Karena tak ada kegiatan lain, maka Anjani mengiyakannya. Lagi pula akan sangat jahat jika Anjani sampai menolaknya.

Bagi Anjani, Silfi tak terlalu merepotkan, hanya saja ia memiliki banyak keinginan seperti kata Sahya tempo hari. Bukan keinginan yang merepotkan juga, seperti meminta kue, meminjam mainan, dan lain-lain. Jika keinginannya terpenuhi, pastinya Silfi langsung sibuk dengan dirinya sendiri. Tugas Anjani hanya memberi dan memantau.

Anjani meregangkan tubuhnya, hebatnya, matanya masih fokus membaca setiap kata yang tersaji di dalam buku. Terlewat sudah beberapa menit ia membaca bukunya, ia merasakan ketenangan yang sedingin es. Sunyi. Tak ada suara apapun bahkan suara Silfi yang sedang bermain boneka dan makan kue di dekatnya.

Anjani menyadari kelalaiannya bahwa ia telah melupakan soal Silfi—yang bahkan baru beberapa menit lalu meminta kue kepadanya.

Begitu mengalihkan pandangannya dari buku, ia menyadari bahwa Silfi tak lagi duduk di karpet yang digelar di ruang tengah. Yang ada kini hanyalah bungkus biskuit dan sebuah boneka kucing tergeletak di sana.

"Silfi?" panggil Anjani.

Tak kunjung mendapat balasan dari panggilannya, Anjani langsung bangkit. Ia mempertimbangkan untuk mengayunkan langkahnya, mencari Silfi yang siapa tahu berada di tempat berbahaya sekalipun itu di rumahnya. Siapa tahu, Silfi tengah berada di dapur, bermain dengan barang-barang berbahaya di sana.

"Silfi?" panggil Anjani lagi.

Anjani pergi mencari keberadaan anak itu, mulai dari kamar-kamar yang paling dekat dengan ruang tengah, hingga ke dapur, dan kamar mandi.

Perasaannya mulai tak enak. Hanya ada satu ruangan lagi yang belum ditelusurinya di rumah ini. Silfi tak mungkin pergi keluar karena pintu depan sudah Anjani kunci.

Tidak mungkin….

Anjani mempercepat langkahnya menuju tangga. Meski hanya berjalan cepat, jantungnya mulai berdentum-dentum kencang.

Manik cokelatnya menangkap sebuah siluet seorang anak kecil dengan latar cahaya redup dari pintu yang setengah terbuka. Anjani tentunya tahu bahwa anak kecil itu adalah Silfi, kabar buruknya Silfi tengah membuka pintu di mana disembunyikannya mimpi buruknya itu.

"Silfi!"

Sontak, Anjani segera berlari, menarik Silfi ke pelukannya dan segera menggapai daun pintu dengan cepat. Maniknya sempat menangkap sebuah bayangan dirinya sendiri di dalam sebuah cermin yang berhadapan dengannya—Sahya pastinya menyimpan cermin itu berhadapan dengan pintu.

Dan, yang sukses membuat Anjani terkejut, dilihat dari bayangan cermin, bukan Silfi yang berada di pelukan Anjani sekarang. Melainkan sesosok yang pernah menghantuinya. Mimpi buruknya.

HIDE AND SEARCH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang