Shadow |42|

380 74 68
                                    

Gue gak tau kaki gue mau melangkah kemana. Yang penting gue butuh tempat yang sedikit dilalui orang-orang agar gue puas buat nangis.

Gue gak mungkin ke taman dalam keadaan kayak gini.

Rambut gue acak-acakan, belum lagi mata gue yang sulit dijelaskan. Di tambah lagi baju rumah sakit ini yang berwarna putih.

Gue gak mau buat orang-orang yang ada di taman nanti mendadak kaget berjama'ah gara-gara liat gue dan dengar suara tangis gue.

Kan gak lucu kalo sampai UGD mendadak ramai gara-gara pasien pingsan karena kaget dadakan. Udah kayak tahu bulat aja.

Karena terlalu lelah berjalan dari tadi, akhirnya tubuh gue pun meluruh ke lantai dan gue langsung membenamkan wajah gue pada lipatan kaki gue.

"Hikss, kesakitan apa lagi yang bakalan gue hadapi kedepannya?"

"Ayo Wirda bangun. Ini cuma mimpi, ayo bangun."

"Haa hikkss... hikkss... gue pengen amnesia lagi. Kebenaran terlalu sakit buat gue terima."

"Gue cuma pengen bahagia kayak anak-anak lain, hikkss."

"Ayah jahat banget hikkss."

Gue merasakan ada seseorang yang naruh jaketnya di badan gue.

"Gak usah angkat kepala lo. Nanti lo kaget liat ketampanan gue."

Gue yang ingin menatap sosok itu langsung tertahan setelah mendengar ucapannya.

"Nangis aja lagi. Gue mau beli minuman sama tisu buat lo. Tuh jaket jangan di lepas. Angin malam gak baik buat kesehatan."

Gue mendengar suara langkah kaki yang menjauh pertanda kalo lelaki itu udah pergi. Dan gue kembali nangis.

"Ayo bangun ayo. Ini cuma mimpi."

Bayangan ayah dan Jeha tadi berputar di pikirin gue.

Gimana bahagia nya Jeha ketika ayah datang dan panggilan princess itu yang diakhiri dengan senyuman ayah. Senyuman yang beberapa bulan ini gue harapkan.

Sebutan yang dulu sering ayah kasih buat gue, bahkan sebutan itu udah merasa gak spesial lagi buat gue.

"Adek benci ayah."

Tiba-tiba gue ngerasa pelukan dari samping.

Gue yang emang rada gelian ingin menepis tangan itu. Tapi ketika mendengar suaranya, ntah kenapa gue mengurungkan niat itu.

"Nangis aja."

Gue merasa usapan lembut di bahu gue dan gak tau kenapa gue merasa sedikit lebih tenang.

"Beberapa orang menyembunyikan kesedihannya dengan menyendiri dan menangis, sehingga hanya kebahagiaan aja yang dia tunjukkan di hadapan orang lain. Dan kamu salah satu dari mereka?"

Gue diam.

"Apa gue bisa bahagia?" tanya gue lirih.

"Kamu tau hukum kuantitas penderitaan?"

"Tiap orang punya jumlah penderitaan dan kebahagiaan yang udah di tentukan."

Story of Daren » Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang