Leo menatap kaget saat melihat Leoni yang duduk manis pada single sofa yang terletak di ruang tamu mansion milik kakeknya. Pemuda itu berlari menghampiri Leoni yang tengah menunduk dalam. Leo memegang pundak gadis itu. Dia terkejut melihat kehadiran Leo di depannya.
"Jelasin ke gue," ujar Leo penuh penekanan.
"Apa yang belum kamu mengerti, Leo?"
Suara Toni menginterupsi mereka berdua. Dengan santainya dia duduk di hadapan Leoni dan Leo dengan secangkir kopi di tangannya. Apa maksud dari lelaki tua itu?
"Akhirnya kamu unggul lagi di perlombaan kali ini." Toni tersenyum. "Kakek tahu dia saingan terberatmu." Toni menunjuk ke arah Leoni yang tengah menatapnya.
"Jangan bilang ... ini semua perbuatan Kakek?" Leo menatap Toni was-was. Ia harap kakeknya itu mengatakan tidak.
"Tepat sekali." Toni berdiri dari duduknya dan menepuk pundak cucunya. "Kakek tahu kalau ada dia kamu tidak akan unggul, Leo. Belakangan ini kakek lihat nilai kamu berada di bawah dia. Itulah yang membuat kakek dengan senang hati melakukan ini semua."
Leo mengepalkan tangannya. Matanya menyorot tajam ke arah Toni. Dadanya naik turun merasa emosi. Leo paling tidak suka kecurangan. "Caranya bukan kayak gini, Kek!"
Bukannya merasa bersalah, Toni justru tertawa kencang. "Kalau kemampuan kamu lebih besar dari dia, kakek tidak akan melakukan ini semua, Leo."
"Enggak gini caranya, Kek. Kalau pihak sekolah tahu bagaimana? Kakek sendiri 'kan yang malu?" Leo menatap nyalang ke arah Toni. Tatapan mematikannya itu belum pernah Leo perlihatkan di depan Toni.
"Hanya karena dia kamu ingin melanggar aturan kakek?" Toni bertepuk tangan kencang. "Hebat Leo, hebat!"
Leo menarik napas panjang. Berhadapan dengan Toni memang membutuhkan banyak kesabaran. Kakeknya itu sangat keras kepala, seenaknya sendiri, dan tidak memikirkan orang lain.
"Bukan sama Leoni aja. Kalau Kakek kayak gini sama partner lomba yang lain, Leo juga bakalan marah, Kek," balas Leo. Tanpa pamit Leo keluar dari mansion milik kakeknya dengan tangan yang menggandeng tangan Leoni.
Pemuda itu memberikan helmnya kepada Leoni. "Pakai," ujarnya.
Tanpa banyak pikir Leoni pun menurutinya. Setelah siap keduanya mulai membelah jalanan. Beberapa kali Leo menatap wajah Leoni dari spion motornya. Gadis itu terlihat murung tidak seperti biasanya. Jelas saja, perjuangannya selama ini terasa sia-sia saja.
Leo menarik napas panjang. Sepertinya ia harus membuat senyum gadis itu kembali.
♐♐♐
Leo membawa Leoni ke sebuah danau. Terlihat sepi dan damai. Pemandangan yang indah itu membuat pikiran Leoni sedikit fresh. Gadis itu turun dari atas motor, menuju ke tepi danau. Leo mengikutinya dari belakang.
"Teriak."
Perkataan Leo itu membuat Leoni mengerutkan keningnya tidak paham.
"Teriak yang kenceng. Gue tahu lo lagi kesel, sedih, sama kecewa." Leo tersenyum tipis.
Leoni mengangguk, ia merentangkan tangannya lebar-lebar dan mulai menarik napas. "AAAAAAAAAAA!!!!" teriaknya dengan kenceng. Leoni tertawa kecil. Benar juga kata Leo, ia merasa lebih enakan dibanding tadi.
"AAAAAAA!!!" teriaknya lagi.
"Udah. Suara lo cempreng," ujar Leo sembari mengelus telinganya.
Leoni mencebikkan bibirnya lucu. Baru saja dia merasa senang tetapi Leo kembali menjatuhkannya ke kerak bumi. Sakit bro.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEO
Teen FictionLeonardo Marcelino, sering dijuluki -Singanya Andromeda. Aura tajam miliknya seakan membuat gentar semua orang yang ingin mendekatinya. Keramaian adalah hal yang paling tidak disukainya. Menurut Leo, hidup tenang jauh lebih menyenangkan. Kehidupanny...