"Mau jalan sama gue gak?"
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Anin. Gadis itu tengah disibukan dengan pikiran-pikiran absurdnya mengenai kejadian beberapa jam lalu.
Gracia.
Dia datang tanpa permisi, bahkan tanpa basa-basi. Dia bahkan masuk begitu saja ke kamar Anin sambil melanjutkan lantunan musik yang terputar saat itu.
"Gue tunggu di jam delapan malam nanti, ya. Harus cantik pokoknya!"
Setelah mengatakan hal tersebut, bahkan tanpa menunggu jawaban Anin, Gracia malah memutar balik langkahnya untuk pergi dari kediaman Anin.
Sepeninggalan Gracia, Anin malah dibuat seperti orang yang sedang di mabuk perasaan cinta dan kasih sayang.
Kali ini, Anin sedang mengacak-acak lemari pakaiannya. Baju mana yang harus dia gunakan dengan setelan yang setidaknya cukup pas. Gadis itu terus memperhatikan rambut barunya itu, sesekali dia memengalihkannya tepat ke wajahnya.
"Gue adalah cewek dua puluh satu tahun," gumamnya pelan. Dia memiringkan kepalanya masih dengan dirinya yang bercermin. "Tapi kenapa malah keliatan kayak dua puluh lima tahun setelah potong rambut?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Anin menghembuskan napas kasar. "Gapapa. Yang penting gue bisa denger kalimat tertulusnya Gracia. Semangat, Anin!"
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Anin mengenakan baju putih polos yang sedikit oversize, berlengan pendek dengan bagian bahu yang sedikit lebar dan sedikit mengeksposnya. Bawahannya adalah rok pendek berbahan levis di atas lutut. Gadis itu tersenyum tipis.
Dia berjalan mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukan pukul delapan malam kurang lima menit.
Langkahnya pun membawanya keluar kamar. Sebelum benar-benar menuruni tangga, Anin mencoba menenangkan dirinya.
Tangannya terangkat membuka pintu perlahan. Anin pun terdiam menatap keluar.
Suara hujan yang turun membasahi bumi sangat terdengar jelas di telinganya. Bahkan di depan matanya. Petir terus saling bersahutan di luar sana. Menampakan kilauan cahaya yang terlihat cukup menarik.
Ingin rasanya Anin menangis.
Mengapa takdir tidak mengizinkannya untuk bahagia walau hanya sesaat?
Setidaknya, biarkan dia tersenyum bersama dengan Gracia yang selalu menjadi pemicu utama jantungnya berdetak.
Anin pun tersenyum miris.
Dia kembali menutup pintu. Bersandar di pintu sambil menunduk. Entah, rasanya benar-benar menyakitkan melihat keadaan di luar. Dan untuk membatalkan acaranya bersama Gracia, Anin tidak akan mungkin mengatakan hal itu.
Wajahnya perlahan terangkat. Matanya mengitari sekitar rumah. Sangat sepi. Hampa. Kosong.
Rumah sebesar dan semewah yang hanya ditinggali oleh dia dan Shani, juga ART yang bekerja di sana, kini terlihat sangat sepi.
Shani pergi dari rumah setelah kejadian dimana mereka berdua bertengkar. Hanya ada ART yang menemani. Anin kembali merutuki kebodohannya.
Apakah sebegitu cintanya dia pada Gracia yang bahkan hanya menganggap dirinya sebatas teman?
Anin menghela napas kasar. Tekadnya kembali bulat. Dia akan pergi ke tempat yang sudah di janjikan oleh Gracia.
Anin harus segera menemui Gracia!
Ceklek!
"Halo!" sahut Gracia dengan senyum lebarnya. Gadis yang berdiri dihadapan Anin melambaikan tangannya. Sedetik kemudian dia kembali memeluk dirinya sendiri sambil sesekali mengusap lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re:I'am [END]
FanficTerkadang, seseorang jauh lebih tahu tentang kita, dibandingkan diri kita sendiri. Dan semua itu terjadi pada ke-empat gadis yang saling berhubungan.